Minggu, 24 Juli 2011

RENCANA PENGELOLAAN DAS DELI 2011



RENCANA PENGELOLAAN DAS DELI

Oleh

Benny Hidayat

Program Doktor

Fakultas Pertanian USU/24/7/2011

PENDAHULUAN

 Pengertian Daerah Aliran Sungai menurut Undang-uandang RI No.7 tahun 2004 tentang sumber daya air, Pasal 1 bahwa DAS sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau kelaut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas dilaut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan.

DAS sesuai dengan definisi tersebut dipandang sebagai satuan sistem hidrologi, sehingga interaksi antar komponen sumberdaya tersebut di suatu DAS dapat digambarkan melalui siklus/pergerakan air di DAS tersebut. Perubahan suatu komponen sumberdaya dapat dikaji dampaknya terhadap komponen sumberdaya lainnya dengan melihat dampak perubahan tersebut terhadap komponen proses pergerakan air dan keseluruhan siklus/pergerakan air. Salah satu indikator yang dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui baik atau tidaknya adalah debit sungai. Debit sungai (kuantitas, kualitas, kontinuitas dan ketersediaanya) merupakan indikator dari baik-buruknya pengelolaan suatu DAS.

Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi.


Karakteristik DAS Deli  



Daerah Aliran Sungai (DAS Deli) terletak di Kabupaten Karo, Deli Serdang dan Kota Madya Medan, Propinsi Sumatera Utara. DAS Deli di sebelah timur berbatasan dengan DAS Percut, sedangkan di sebelah barat dengan DAS Belawan. DAS tersebut terdiri dari tujuh Sub DAS yakni Sub DAS Petani, Sub DAS Simai-mai, Sub DAS Deli, Sub DAS Babura, Sub DAS Bekala, Sub DAS Sei Kambing dan Sub DAS Paluh Besar.

Letak Sub DAS tersebut dalam DAS antara lain; Sub DAS Petani terletak di hulu, yakni ujung selatan berbatasan langsung dengan DAS yang alirannya mengalir ke selatan. Sub DAS Simai-mai berada pada bagian hulu sebelah timur Sub DAS Petani, berbatasan langsung dengan DAS Percut. Sub DAS Deli terletak di tengah berbatasan langsung dengan Sub DAS Simai-mai, DAS Percut dan Sub DAS Babura. Sub DAS Babura dijumpai di tengah berbatasan dengan Sub DAS Petani, Sub DAS Belaka, Sub DAS Deli dan Sub DAS Sei kambing (BPDAS Wampu-Sei Ular, 2003).

DAS Deli mencakup 2 kabupaten  yaitu Deli Serdang dan Karo, dan kota madya Medan dengan luas DAS berkisar 56,848.88 Ha, dengan  Pemanfaatan Lahan sebagai berikut :



Tabel 1 Penggunaan Lahan DAS Deli

 


No                   LAND_USE                                       HECTARES                          (%)

1          Community Forest (K.Campuran)                 4,241.47                                  7.46

2          Community Forest (Kemiri)                          19.48                                        0.03

3          Critical Land                                                  1,586.76                                   2.79

4          Cultivation                                                       25,868.81                                45.50  

5          Fishpond                                                         2,595.74                                  4.57

6          Forest (Recreation Forest) +Community Forest            367.96                                     0.65

7          Forest (TAHURA)                                          2,298.65                                  4.04

8          Mangrove tree                                                1,609.43                                  2.83

9          Settlement                                                      17,887.88                                31.47

10        Volcano and Rock                                          205.31                                     0.36

11        Water                                                              167.38                                     0.29

T o t a l                                                           56,848.88                                100.00

Sumber :

- Survey and Ground truth, March, 2006, Landsat ETM+7 2002 dan Bakosurtanal


Sumber :

- Survey and Ground truth, March, 2006, Landsat ETM+7 2002 dan Bakosurtanal





Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa total  lahan kritis dan wilyah perkampungan sebesar 34,26% dari total luas kawasan DAS Deli, lahan kritis di hulu DAS sebesar 2, 79%, dan perkampungan sebesar 31,47%. Hal ini menunjukkan bahwa tutupan lahan berupa tanaman hutan dan tanaman budidaya yang dapat memperbesar laju infiltrasi air sebesar 68,53%, jumlah ini sebenarnya cukup untuk menampung air



 Dari analisis bentuk morfologi das ke hilir luar wilayah semakin melebar, sehingga sebenarnya potensi untuk terjadinya banjir kiriman dari hulu sangat kecil, banjir yang terjadi bukan kiriman dari hulu tetapi pola drainase hilir yang kurang baik di kota Medan.



Daerah yang berpotensi sebagai tangkapan air (water catchement area) adalah Pancur batu, Namo rambe, Deli tua, dan Sibiru-biru, maka daerah ini harus dikonservasi, sehingga tidak terjadi pelimpasan air di kota Medan, telah di bentuk kelembagaan DAS yaitu forum DAS Deli yang berfungsi untuk menorganisir setiap aktivitas dalam ruang lingkup pengelolaan DAS sehingga tercapai tujuan umum pengelolaan DAS





Rencana Strategi Pengelolaan DAS Deli





Permasalahan utama DAS Deli adalah erosi dan sedimentasi, banjir, dan ketersediaan air.  Sesuai dengan analisis kondisi pada bagian sebelumnya, maka perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat menurunkan tingkat erosi dan sedimentasi serta mengendalikan banjir dan menjaga ketersediaan air sehingga kualitas DAS Deli dapat ditingkatkan.

Pelestarian DAS Deli pada dasarnya harus bersinergi dan bertujuan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable) di seluruh DAS Deli dan Sub DAS-nya. Pembangunan berkelanjutan itu sendiri memiliki ciri sebagai berikut:

1.       Pembangunan mampu memberikan produktivitas yang tinggi dan pendapatan yang layak bagi seluruh stakeholders

2.       Pembangunan mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu dapat menjamin fungsi DAS secara baik, dapat menyimpan air dan memberikan hasil air yang cukup untuk seluruh keperluan yang merata sepenajang tahun dengan kualitas yang baik (erosi-sedimentasi rendah, pencemaran kecil, kuantitas cukup dan kualitas baik).

3.       Pembangunan mampu memeratakan pendapatan (equity)

4.       Pembangunan mampu menjamin kelenturan DAS (resiliency)



A.    Strategi Pencapaian

Guna mewujudkan indikator sustainability di atas di seluruh DAS Deli, maka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di DAS Deli harus ditata dengan cermat dan seksama. Hal ini dapat dilakukan dengan perencanaan dan pelaksanaan secara bertahap sebagai berikut:

Tahap pertama adalah penataan penggunaan lahan yang harus didasarkan pada faktor-faktor biofisik setempat (topografi, fisiografi, tanah, altitude, iklim, keragaman hayati, transportasi) yang harus dapat menjamin hasil air dalam jumlah dan kualitas yang baik secara merata sepanjang tahun. Perencanaan tahap pertama ini dapat dilakukan dengan menggunakan model-model hidrologi yang sudah ada seperti stanford watershed model, answers, topog, dan lain-lain. Penggunaan model simulasi pada tahap ini akan sangat membantu secara cepat penguasaan karakteristik (prilaku) DAS Deli dengan biaya murah.

Tahap kedua dilakukan pemilihan alternatif komoditi pertanian, perkebunan, kehutanan dan sektor pembangunan lainnya yang sesuai dengan faktor biofisik setempat dan pemilihan alternatif teknologi yang sesuai. Teknologi yang sesuai harus dapat menjamin produksi yang tinggi dan erosi yang lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan agar usaha pertanian dan pembangunan lainnya tersebut dapat berlangsung secara lestari (berkelanjutan). Pemilihan komoditi harus juga mempertimbangkan permintaan pasar, baik lokal, regional, maupun internasional. Untuk menjamin harga yang menarik bagi masyarakat, sejalan dengan isu global, maka penerapan sistem pertanian organik dan pembangunan berwawasan lingkungan adalah langkah yang tepat dan sangat sesuai diterapkan pada lahan pertanian dan lahan terlantar yang tanahnya mengalami kejenuhan akibat penggunaan secara intensif.

Tahap ketiga dilakukan penyaringan terakhir alternatif kombinasi komoditi dan alternatif agroteknologi serta alternatif teknologi tepat guna yang dapat menjamin pendapatan yang tinggi dan agroteknologi serta teknologi tepat guna tersebut dapat diterima dan dapat dikembangkan (acceptable dan replicable) oleh masyarakat setempat. Guna menjamin agar agroteknologi dan teknologi tepat guna serta komoditi dapat diterima dan dapat dikembangkan maka harus dilakukan konsultasi dan perakitan teknologi bersama masyarakat melalui pendekatan dari bawah (bottom up aproach) dan perencanaan yang bersifat partisipatori (partisipatory planning).

Peningkatan inisiatif dan partisipasi masyarakat perlu ditumbuhkembangkan dalam menjamin dan menjaga kelestarian ekosistem DAS Deli. Selain perakitan agroteknologi dan teknologi tepat guna yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat petani, pendidikan dan pelatihan serta alternatif pemberdayaan masyarakat perlu terus dilakukan. Upaya pelestarian DAS Deli yang dilakukan oleh pemerintah dan atau NGO tertentu tanpa melibatkan masyarakat secara umum akan sia-sia, karena masyarakat hanya sebagai penonton dan merasa tidak memiliki. Oleh sebab itu peningkatan kepedulian dan partisipasi (melibatkan peran serta) masyarakat merupakan aspek yang paling penting.

Strategi pencapaian tujuan dalam pengelolaan DAS Deli meliputi 3 faktor, yaitu :

1.     Merumuskan faktor pemungkin dalam pengelolaan DAS Deli terpadu, meliputi:

  1. Kebijakan dan regulasi ditingkat stakeholder terkait, yang berwawasan lingkungan (konservasi dan rehabilitasi sumber daya air dan lahan di DAS Deli) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
  2. Dukungan finansial baik dari APBN, APBD ataupun dari sumber lain  untuk menjamin keberlangsungan program kegiatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya air dan lahan di DAS Deli, baik bersifat fisik maupun non fisik.

2.     Merumuskan aturan kelembagaan, dalam pengelolaan DAS Deli, harus memiliki:

  1. Semacam organisasi/forum/lembaga yang bersifat lintas sektoral dan berperan sebagai koordinator stakeholder yang ada dalam pengelolaan DAS jika belum ada. Jika sudah ada, tinggal mereformasi organisasi/ forum/lembaga yang ada dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kapasitas sumberdaya manusia sehingga dapat berperan lebih optimal dalam pengelolaan DAS Deli secara terpadu.
  2. Melalui organisasi/forum/lembaga ini dapat ditetapkan aturan main bagi semua stakeholder yang ada dalam DAS Deli sehingga masing-masing stakeholder yang berkepentingan dengan ekosistem DAS Deli dapat berperan lebih jelas, siapa berbuat apa, dimana dan kapan.

3.     Merumuskan instrumen pengelolaan DAS Deli, meliputi :

  1. Penilaian sumber daya air dan lahan sebagai alat untuk memahami antara sumber daya yang ada dengan tingkat kebutuhannya
  2. Perencanaan pengelolaan DAS terpadu yang mengkombinasikan rencana tata ruang wilayah (RTRW), pengelolaan dan penilaian resiko lingkungan, ekonomi dan sosial dengan partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pembangunan.
  3. Peningkatan efesiensi penggunaan air di setiap stakeholder melalui pengelolaan permintaan dan pemasokan air lebih optimal)
  4. Instrumen perubahan perilaku sosial melalui perumusan kurikulum pendidikan yang berbasiskan pengelolaan DAS sehingga muncul kesadaran dari masyarakat sendiri untuk menjaga ekosistem DAS tetap lestari.
  5. Instrumen Ekonomi, menjadikan DAS memiliki nilai secara ekonomi melalui mekanisme jasa lingkungan dan memberlakukan subsidi, incentive dan punishment.
  6. Instrumen regulasi untuk mengontrol kualitas air, distribusi jumlah air, perencanaan penggunaan lahan dan perlindungan lingkungan sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi semua pihak.
  7. Resolusi konflik melaui manajemen konflik dan kebiasaan membangun konsensus untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada.
  8. Pertukaran data dan informasi antar stakeholder melalui satu sistem manajemen informasi yang berifat terbuka.

Strategi pencapaian tujuan berbasiskan kegiatan RHL yang digunakan dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: kegiatan vegetatif, sipil teknis berbasis lahan dan sipil teknis berbasis alur sungai. Penjelasan terhadap ketiga jenis kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

a.     Kegiatan vegetatif;  merupakan suatu bentuk kegiatan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah melalui media tanaman (vegetasi) sehingga jumlah air yang menjadi limpasan permukaan akan berkurang sampai dengan jumlah yang diinginkan. Kegiatan ini dapat dilakukan jika tersedia lahan yang masih sesuai untuk dilakukan penanaman. Termasuk dalam jenis kegiatan ini adalah penanaman vegetasi tetap, penghijauan, agroforestry dan strip rumput, dan penghijauan di kanan-kiri sungai.

Pemilihan komoditi pohon penghijauan (pohon hutan, buah-buahan atau perkebunan) selain berdasarkan pertimbangan kesesuaian dengan faktor biofisiknya juga harus didasarkan pada kemampuannya dalam menjamin hasil air yang tinggi. Beberapa jenis pohon penghijauan yang dapat menyimpan air dalam jumlah banyak, selain memiliki tajuk yang indah untuk penghias taman dan mudah tumbuh di lahan kritis adalah pohon pulai (Alstonia scholaris), sengon (Albazia falcataria), kelor (Moringa oliefera), pakam (Pometia pinnata), mahoni, zabon dan beringin (Ficus benjamina). Pohon mangga, rambutan, durian, karet, aren, kelapa sawit, kelapa dan kakao termasuk komoditi tanaman buah dan industri yang sesuai untuk dikembangkan di kawasan DAS Deli.



b.     Kegiatan sipil teknis berbasis lahan; merupakan kegiatan untuk meresapkan  air hujan ke dalam tanah dan menampung air hujan di atas permukaan tanah sebelum menjadi limpasan permukaan yang masuk ke dalam aliran/sungai melalui bangunan-bangunan sipil teknis. Kegiatan ini dilakukan ditujukan untuk meresapkan air hujan sampai dengan jumlah yang telah ditentukan. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembuatan sumur resapan dan biopri di kawasan pemukiman, pembuatan teras gulud, rorak, parit buntu/rorak, biopori dan embung di kawasan/lahan budidaya.

Agroteknologi (pertanian, perkebuan dan kehutanan) yang dapat menjamin produksi yang tinggi dan erosi yang lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan hanya dapat dicapai dengan penerapan sistem pertanian konservasi (conservation farming system). Sistem pertanian konservasi (SPK) merupakan sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani di satu sisi dan sekaligus menekan erosi hingga lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga sistem pertanian tersebut dapat berkelanjutan (sustainable).

Berbagai teknologi konservasi tanah dan air yang dapat menjamin agroteknologi yang mampu menekan laju erosi ke tingkat erosi yang dapat ditoleransikan dan membantu meningkatkan jaya jerap tanah terhadap air (water holding capacity) sekaligus dapat meningkatkan produksi pada lahan kritis diantaranya penerapan teknik mulsa vertikal, embung, biopori dan kombipor.

Sejalan dengan pemilihan dan kajian tentang agroteknologi yang tepat berbasis sistem pertanian konservasi, dilakukan pula kajian teknologi tepat guna yang ada kaitannya dengan bidang pertanian, sepeti pembuatan kompos dan biogas, pembuatan persemaian dan kebun bibit berbagai jenis tanaman, terutama tanaman pohon (buah-buahan dan hutan) hingga diperoleh kebun induk, dan lain-lain.

c.      Kegiatan sipil teknis berbasis alur sungai terutama di ordo sungai di bagian hulu; merupakan kegiatan untuk menahan/menampung air di badan air untuk waktu tertentu sehingga sedimen dan air mempunyai waktu untuk meresap, dan mengatur kebutuhan air sesuai dengan kebutuhan air untuk kebutuhan masyarakat dengan cara membuat bendung, gully plug, dam penahan, dan dam pengendali. Selain menahan/menampung air, kegiatan ini juga dapat memperpanjang waktu tempuh aliran sehingga dapat menurunkan debit puncak dari suatu sungai sehingga air tidak sampai dalam waktu yang bersamaan ke tempat di bagian hilir.

Ketiga kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut merupakan suatu bentuk kegiatan yang saling berurutan dengan logika sebagai berikut:  jika kegiatan vegetasi sudah tidak mampu lagi menurunkan debit limpasan sampai dengan tingkat yang diinginkan, maka akan diterapkan kegiatan sipil teknis berbasis lahan sehingga prioritas di lahan-lahan kritis harus ada upaya kegiatan sipil teknis. Selanjutnya jika debit limpasan tidak dapat diresapkan atau ditahan di lahan maka kegiatan sipil teknis berbasis alur sungai di ordo sungai pertama, diterapkan untuk mengurangi debit puncak dari aliran. Ketiga jenis kegiatan tersebut harus disertai dengan kegiatan yang bersifat non biofisik yang mencakup aspek kelembagaan, penyuluhan, pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan dan  pembiyaannya.

Beberapa kegiatan yang dapat melibatkan masyarakat dalam pelestarian kawasan DAS Deli diantaranya:

a.    Pembibitan dan penanaman pohon berbasis masyarakat. Bila selama ini program penghijauan, apapun namanya, selalu dilakukan dalam skala proyek dinas/instansi dan atau NGO tertentu dari mulai penyediaan bibit hingga penanaman, sebenarnya sebagian atau seluruh mata rantai kegiatan tersebut dapat diperankan oleh masyarakat, terutama masyarakat di sekitar kawasan hutan atau kawasan yang akan dihijaukan/direboisasi. Dengan melakukan pelatihan pembuatan persemaian dan pembibitan kepada masyarakat, maka bibit pohon penghijauan dapat dibeli secara langsung di tingkat masyarakat. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menekan biaya transportasi dan mengurangi kerusakan (stress) bibit. Dengan luasnya lahan kritis di DAS Deli yang harus direhabilitasi, kebutuhan terhadap bibit tanaman sangat tinggi. Hingga saat ini sebagian besar kebutuhan bibit tanaman rehabilitasi DAS Deli (terutama di bagian hulu) dipenuhi dari luar kawasan ini. Rehabilitasi diyakini akan lebih berhasil apabila pelaksana penghijauan (penanaman dan pemeliharaan) dilakukan oleh masyarakat, baik secara individu, maupun kelompok, pada wilayah domisili masyarakat dimaksud. Keberhasilan penanaman tidak hanya terbatas pada target jumlah yang ditanam, namun seberapa banyak (persentase) tanaman yang tumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu, indikator keberhasilan suatu kegiatan penghijauan dan insentif diberikan berdasarkan persentase tanaman yang tumbuh dan berkembang dengan baik, bukan sekedar jumlah tanaman yang sudah ditanamkan (tanpa mempertimbangkan tanaman tersebut hidup berkembang atau mati).

b.   Kampanye budaya konservasi sumberdaya alam. Membudayakan tindakan konservasi sumberdaya alam pada setiap aspek kehidupan merupakan bagian terpenting dalam mendukung dan mensukseskan pelestarian ekosistem suatu kawasan, tidak terkecuali kawasan DAS Deli. Teknologi konservasi SDA sudah sangat banyak dan umumnya mudah sehingga dapat diterapkan oleh siapa saja, dari mulai anak-anak hingga orang dewasa, berpendidikan maupun tidak. Menanam pohon, membuang sampah pada tempatnya, menghindarkan diri dari membakar serasah, apalagi hutan, membuat kompos, menggunakan mulsa, menanam sejajar kontur, dan lain-lain merupakan teknik konservasi SDA yang mudah dan murah, namun sedikit orang yang mau dan senang hati mengerjakannya.

 Persoalannya terletak pada budaya yang didasari oleh kelestarian SDA yang sangat kurang dan perlu terus ditanamkan pada setiap individu/pribadi masyarakat. Kampanye budaya konservasi SDA alam ini efektif dapat dimulai dari anak usia dini melalui jenjang pendidikan terutama pendidikan dasar (TK dan SD), hingga ke jenjang yang lebih tinggi (SMP, SMA dan Pergurusan Tinggi). Melalui program pengajaran, baik co-kurikuler, maupun ekstra kurikuler, dan pelatihan-pelatihan keterampilan berbasis konservasi dan kelestarian sumberadaya alam, lembaga-lembaga pendidikan dimaksud juga dapat diberdayakan dalam program pengadaan bibit, pupuk kompos, dan lain-lain.

Penetapan lokasi areal berbagai bentuk rehabilitasi lahan seperti kegiatan vegetasi tetap, penghijauan, agroforestry, teras gulud, strip rumput, rorak, dam penahan, dam pengendali, gully plug, sumur resapan, biopori dan embung dilakukan melalui identifikasi lokasi yang memungkinkan dengan mengacu pada Pedoman Teknis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN) yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan tahun 2007. 







B.     Kebijakan, Program, dan Kegiatan

Dalam merumuskan kebijakan, program dan kegiatan di DAS Deli, ada empat bidang kegiatan yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Pertanian dan kehutanan,         2. Pemberdayaan masyarakat, 3. Kelembagaan pengelolaan DAS, 4. Penataan ruang DAS.



1.   Pertanian dan Kehutanan

a.   Penataan Batas DAS dan Penatagunaan Lahan

Tata batas DAS adalah panataan batas yang dilakukan pada wilayah kelola DAS termasuk sub-sub DAS yang berada di DAS Deli.  Penataan Batas ini dilaksanakan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Kementerian Kehutanan.

Penataan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kemampuan lahan (land capability) dengan mempertimbangkan faktor-faktor biofisik setempat (topografi, fisiografi, tanah, altitude, iklim, keragaman hayati, transportasi) sehingga penggunaan lahan dalam DAS tidak menyebabkan keru-sakan lahan, mampu memberikan pendapatan dan kesejahteraan kepada seluruh stakeholder yang cukup tinggi dan merata serta mampu menjamin ketersediaan air dalam jumlah dan kualitas yang baik secara merata sepanjang tahun.

Untuk melihat respon dan perilaku DAS terhadap masukan perencanaan penatagunaan lahan yang akan dilakukan dan keluaran yang diharapkan, perencanaan penggunaan lahan tersebut dapat disimulasikan dengan menggunakan model-model hidrologi DAS seperti STANFORD watershed model, ANSWERS, TOGOG, AGNPS, SWAT, dan HEC-WMS (watershed modeling system).



b.   Pemilihan Alternatif Komoditi Pertanian

Pemilihan alternatif komodisti pertanian yang akan dikembangkan (tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan) didasarkan atas kesesuaian fisik lahan (land suitabilty) dan kelayakan secara ekonomi dengan menggunakan indeks B/C ratio, Net Present Value (NPV) dan atau Internal Rate of Return (IRR). Pengembangan komoditas pertanian dan penerapan agroteknologi yang sesuai harus dapat menjamin produksi yang tinggi dan erosi yang lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan agar usaha pertanian tersebut dapat berlangsung secara lestari (berkelanjutan).

Pemilihan alternatif komoditas pertanian akan menghasilkan sentra-sentra produksi pertanian sehingga masing-masing wilayah (kabupaten) mempunyai komoditas unggulan yang mungkin dapat berbeda dengan kabupaten lainnya.  Pohon mangga, rambutan, durian, karet, aren, kelapa sawit, kelapa dan kakao termasuk komoditi tanaman buah dan industri yang sesuai untuk dikembangkan di kawasan DAS Deli.



c.    Pemilihan Agroteknologi Tepat Guna

Agroteknologi tepat guna merupakan agroteknologi yang dapat diterima dan dikembangkan oleh petani (acceptable dan replicable), berfungsi efektif dalam mengurangi kerusakan lahan dan mampu menjamin pendapatan dan kesejahteraan petani yang cukup tinggi.  Pemilihan agroteknologi tepat guna yang mampu menjamin kelestarian produktivitas pertanian dan secara bersamaan dapat menurunkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan dapat dilakukan melalui pensimulasian model hidrologi dan erosi yang didalamnya terdapat pilihan best management practice yang dapat dilakukan pada lahan-lahan pertanian. Agroteknologi tepat guna biasanya menggunakan sumberdaya setempat sehingga dapat berbeda antar satu wilayah dengan wilayah lainnya.  Untuk itu  perlu dilakukan konsultasi dan perakitan teknologi bersama masyarakat petani melalui pendekatan dari bawah (bottom up approach) dan perencanaan yang bersifat partisipatif (partisipatory planning). 

Peningkatan inisiatif dan partisipasi masyarakat perlu ditumbuhkembang-kan dalam menjamin dan menjaga kelestarian ekosistem DAS Deli. Selain perakitan agroteknologi dan teknologi tepat guna yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat petani, pendidikan dan pelatihan serta alternatif pemberdayaan masyarakat lainnya (termasuk kepada bukan petani) perlu terus dilakukan.  Upaya pelestarian DAS Deli yang dilakukan oleh pemerintah dan atau LSM tertentu tanpa melibatkan masyarakat secara umum akan sia-sia, karena masyarakat hanya sebagai penonton dan merasa tidak memiliki. Oleh sebab itu peningkatan kepedulian dan partisipasi (melibatkan peran serta) masyarakat merupakan aspek yang paling penting.

Untuk memperbaiki kualitas fisik DAS Deli yang telah mengalami penurunan (mengurangi erosi, sedimentasi, longsor, dan banjir serta meningkatkan ketersediaan air) strategi pencapaian tujuan pengelolaan DAS berbasis kegiatan RHL dapat diimplementasikan dalam bentuk kegiatan konservasi tanah dan air dengan menggunakan pendekatan vegetatif, sipil teknis berbasis lahan dan sipil teknis berbasis alur sungai.

Kegiatan Vegetasi

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kegiatan ini merupakan suatu bentuk kegiatan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah melalui media tanaman (vegetasi) sehingga jumlah air yang menjadi limpasan permukaan akan berkurang sampai dengan jumlah yang diinginkan. Selain mengurangi limpasan permukaan, pemilihan jenis tanaman dan penetapan lokasi yang tepat akan dapat mengurangi erosi lahan. Kegiatan ini dapat dilakukan jika tersedia lahan yang masih sesuai untuk dilakukan penanaman. Termasuk dalam jenis kegiatan ini adalah penanaman vegetasi tetap, penghijauan, agroforestry dan strip rumput. 

Kegiatan vegetasi dilakukan di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan sebagai wilayah prioritas dengan tutupan lahan adalah tegalan, lahan terbuka, semak belukar dan kebun/perkebunan. 

Morfologi DAS Deli agak sedikit unik DAS deli dari Hulu ke Hilir semakin mengembang  dengan outlet utama pada sungai Deli, Sungai Percut dan Babura sebagian besar di kawasan kota Medan, tetapi kondisi sungat sangat memprihatikan semakin mendangkal karena aktifitas masyarakat perkotaan  yang selalu membuang sampah/limbah kesungai. Dan inilah penyebab banjir yang sebenarnya. Kemudian kemakin mengecilkan daerah resapan air dengan berdirinya bangunan bangunan yang tidak berprinsip kepada lingkungan.

Untuk itu diperlukan upaya penyadaran masyarakat melalui Kelembagaan DAS dan pendidikan formal- atau pun non formal,  sehingga manimbulkan rasa tanggung jawab kepada lingkungan, memahami hubungan antara Hulu dan Hilir DAS, melalui system payment for environmental service para pengusaha dapat yang memanfaatkan jasa lingkungan dapat membantu para petani di hulu untuk menjaga jumlah tegakkan sehingga kwantitas dan kwalitas air dapat terjaga.

Wass











2 THE B
2 THE B
321
Influence of
Azolla on CH4 emission from rice fields
Z. Ying
1, P. Boeckx2, G.X. Chen1 & O. Van Cleemput2
1
Institute of Applied Ecology, Academia Sinica, Shenyang, People’s Republic of China; 2Ghent University,
Coupure 653, B-9000 Gent, Belgium
Keywords: Azolla
, rice field, China, methane emission, methane production, methane oxidation
Abstract
Azolla
is an aquatic fern that has been used successfully as a dual crop with wetland rice. Rice fields are a major
source of atmospheric CH
4, which is an important greenhouse gas. In this study, field and laboratory experiments
showed that growing
Azolla as a dual crop could enhance CH4 emission from rice fields. In pot experiments,
indications showed that
Azolla could mediate CH4 transport from the floodwater of a rice soil into the atmosphere.
It was also found that due to the presence of
Azolla, chemical soil properties could be developed, stimulating CH4
production and decreasing in situ CH
4 removal.
Introduction
Azolla
is a genus of aquatic ferns found floating in
swamps, ditches, lakes, and rivers. Because of its aquatic
nature, rapid growth, ability to fix N
2 (due to symbiosis
with
Anabaena, a blue-green algae), and high N content,
Azolla
has been used as a green manure or a dual
crop in rice cultivation for many years (Wagner, 1997).
It has been shown that incorporation of
Azolla as green
manure is beneficial for rice production both in terms
of rice yield and N uptake. Incorporation of
Azolla appears
to be equivalent to using urea as a source of N
(Galal, 1997).
Azolla also increases N recovery by the
soil and therefore improves soil fertility in the long term
(Kumarasinghe & Eskew, 1993). The use of
Azolla as a
floating cover in rice fields is also effective in reducing
NH
3 volatilization from applied urea (Vlek et al., 1995).
As a result,
Azolla is most beneficial as a sustainable
natural source of N. In addition, it is also useful in reducing
weed growth and improving the soil structure
and water economy. The major fundamental constraints
are limitations of water supply and phosphorus and its
susceptibility to temperature changes, pests, and pathogens
(Kulasooriya, 1991).
Rice fields have to be considered as a significant
source of greenhouse gases (CH
4 and N2O) (Bronson
et al., 1997a,b). They account for about 60 Tg CH
4 per
year, or about 12% of the global annual CH
4 emission
(IPCC, 1996). Much attention has been paid to the influence
of fertilization, organic matter amendment,
water management, and rice varieties on CH
4 and N2O
emissions from rice fields. Recently, it has been reported
that growing
Azolla in rice fields could enhance CH4
and N
2O emissions (Chen et al., 1997). Therefore, it is
important to collect more information on the role of
Azolla
on greenhouse gas emissions from rice soils. This
paper gives evidence suggesting that
Azolla could enhance
CH
4 emission from flooded rice soils at the level
of CH
4 transport, production, and oxidation.
Materials and methods
Pot experiments
Pot experiments were conducted in a greenhouse at the
Ghent University (Belgium). The objectives were to
evaluate the influence of
Azolla on soil properties, rice
growth, and CH
4 emission from a flooded rice soil. The
soil used originated from a maize field and had the following
physicochemical characteristics: pH 7.3, total
C 1.4%, total N 0.14%, 54% sand, 31% silt, and 15%
clay. Plastic pots (20 cm in height and 16 cm in diameter)
were filled with 3.3 kg of soil amended with 0.5%
wheat straw. The soil was mixed with de-ionized water
until it was flooded to 2 cm depth. The soil was pre-
Nutrient Cycling in Agroecosystems
58: 321–326, 2000.
© 2000
Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.
322
incubated at constant water level for 20 d. During the
entire experiment, the water content was kept constant
and average temperature in the greenhouse was 25 °C.
The four treatments were the flooded soil without
rice or
Azolla (P1), without rice but with Azolla
(P2), with rice and without
Azolla (P3), and with both
rice and
Azolla (P4). Each treatment was replicated five
times. Four 18 d-old rice seedlings (variety: Liao Kai
7
9) were planted in the center of each pot of treatments
P3 and P4. Seven days after planting, urea was added
to the overlying water of all treatments at a rate of 100
mg urea N kg
–1 soil. Azolla fuliculoides was cultivated
(Watanabe et al., 1977), and 14 d after planting of the
rice seedlings, 2 g fresh
Azolla was spread on top of the
water layer of treatments P2 and P4.
The CH
4 emission from the rice soil microcosms
was determined using the static chamber technique
(IAEA, 1992). A chamber (50 cm height and 15 cm
diameter) equipped with a septum to sample the gas
phase was put over the plastic pots. Methane emissions
were collected weekly between day 21 and day 92 after
planting the rice seedlings. At day 50, the O
2 concentration
in the water layer and the NH
4
+
content of
the soil (0–20 cm) were determined. The O
2 concentration
was measured with an oxygen electrode (Oxi320/
CellOx325, WTW, Weilheim, Germany). Ammonium
N was determined acidimetrically after distillation of
an extract (shaking time: 60 min) of the soil with 1 N
KCl (soil/KCl = 1/2) (Keeney & Nelson, 1982).
In a second pot experiment, the transport capacity
of
Azolla for CH4 was investigated. Pots with rice
were prepared as described for treatment P3. In this
experiment,
Azolla was put as a complete cover onto
the water layer 1 d before CH
4 measurements were conducted.
When the CH
4 measurements were finished,
Azolla
was removed from the pot. As such, two treatments
were handled: one with rice but without
Azolla
(P3) and one with rice and temporally
Azolla (P4’). Five
replicates were used. A split chamber (Figure 1) was
used to distinguish between CH
4 emitted from the overlying
water and CH
4 escaping via the rice plants. The
rice plants were separated from the soil chamber via
an air-tight plastic tube and modeling clay (Figure 1).
As such, it was possible to determine separately the
amount of CH
4 emitted via diffusion through the water
layer, eventually mediated by
Azolla (soil chamber),
and the amount of CH
4 emitted via the rice plants (rice
chamber). The CH
4 emission was determined on day
53 and day 78 after transplanting the rice. As such, CH
4
emission was measured during a period of high flux
and during a period of low flux.
The concentrations of CH
4 in rice and soil chambers
were measured with a Chrompack CP 9000 gas
chromatograph (GC) (Chrompack, Delft, The Netherlands).
After injection, part of the gas was directed
through a 1.8 m
× 3 mm activated aluminum column
(100-120 mesh). Methane was measured using a flame
ionization detector (FID). Helium was used as carrier
gas (46 mL min
–1). The analyses were carried out under
the following conditions: injector temperature 65
°C, oven temperature 55 °C, and detector temperature
200 °C. The CH
4 concentrations were calculated from
the peak area. As standard gas, 50.3 ± 1.5 ppmv CH
4 in
argon was used (L’ air Liquide, Belgium). The
chromatograms were registered and analyzed using
“Winner on Windows” (Thermo Separation System,
Fremont, California).
Field experiments
A field experiment was carried out at the experimental
station of the Institute of Applied Ecology (Shenyang,
China). The objective was to find out whether there
was a difference between CH
4 emissions from a rice
field without
Azolla (F1), a rice field where Azolla had
been grown for 1 yr (F2), and a rice field where
Azolla
had been grown for 5 consecutive years (F3). The experimental
site is characterized in Table 1. The rice and
A
zolla species were similar to those used in the pot
experiments.
Figure 1.
Split chamber for measuring CH4 emission from the
overlying water (soil chamber) and CH
4 escaping through the rice
plants (rice chamber)
Gas sampling hole
Rice plant
Rice chamber
Plastic disc
Plastic tube
Gas sampling hole
Floating
Azolla
Water layer
Soil layer
Soil chamber
Rice plant
roots
323
The soil was flooded on 18 May 1997 and rice
seedlings were planted on 21 May and harvested on 16
Oct.
Azolla inoculum (156 g m-2) was spread on fields
F2 and F3 on 11 Jun. Pig manure was applied as a basal
dressing at a rate of 37.5 t ha
–1 (± 112 kg N ha–1) on 20
May. The rice fields were also fertilized with 170 kg
urea-N ha
–1 (60 kg N ha–1 on 28 May and 27 Jul, and 50
kg N ha
–1 on 25 Aug). There was no difference in soil
temperature between the different fields. The average
soil temperature during the growing season was 19.5
°C.
The CH
4 emission was determined weekly between
28 May and 15 Oct, using the static chamber
technique (0.8
× 0.8 × 1.0 m3) (IAEA ,1992). Two chambers
were used per field. The chambers were closed
during 40 min and gas samples were collected at 0 and
40 min. The CH
4 concentration in the headspace of the
chambers was determined using a Shimadzu GC-14B
GC (Shimadzu, Tokyo, Japan). After injection, the gas
was directed through a packed column (molecular sieve
5 Ã…). Methane was measured using a FID. Helium was
used as carrier gas. The analyses were carried out under
the following conditions: injector temperature 100
°C, oven temperature 100 °C and detector temperature
200 °C. The redox potential (Eh), pH, water soluble
organic carbon (WSOC) (McCardell & Fuhrmann,
1992) and the NH
4
+
-N content (Keeney & Nelson, 1982)
of the soil (0-20 cm) were also monitored during the
rice-growing season.
Results and discussion
Pot experiments
For an entire period of 70 d, the presence of
Azolla enhanced
total CH
4 emission from a flooded soil without
rice by 75% (P1 and P2, Table 2a). The increase in CH
4
emission could be explained by a significant decrease
in dissolved O
2 in the overlying water and an increase
in the NH
4
+
-N content of the soil in the presence of
Azolla
(Table 2a). A decrease in O2 in the overlying
water could result in more reduced soil conditions (not
measured), leading to an enhanced CH
4 production
(Patrick & DeLaune, 1977). The effect of
Azolla on the
redox potential (Eh) of the soil was clearly shown in
the field experiments (Table 3a). In situ oxidation of
indigenously produced CH
4 mitigates CH4 emission
from wetland soils (Boeckx & Van Cleemput, 1996;
van der Gon & Neue, 1996). However, NH
4
+
can inhibit
the biological oxidation of CH
4 (King & Schnell,
1994). As a result, an increase in the NH
4
+
-N content of
the rice soil could decrease its CH
4-oxidizing capacity.
Thus, based on the O
2 and NH4
+
-N data in Table 2a,
CH
4 production may be higher and in situ CH4 oxidation
may be lower in treatment P2 than in treatment P1.
This results in an enhanced amount of CH
4 available
for transport to the atmosphere in treatment P2 com-
Table 1.
Characterization of the experimental site in Shenyang,
China
Latitude and longitude 10° 32’ N, 123° 23’ E
Soil temperature during 19.5°C (mean)
the growing season 9 - 24°C (range)
Annual precipitation 570 - 680 mm
Cropping system Wetland rice, single harvest per year
Rice variety Liao Kai 79
Soil type Meadow brown soils
sand 54%, clay 22%, silt 24%
pH (H
2O) 6.5
Organic matter (g kg
-1) 16.2
Total N (g kg
-1) 0.8
CEC (cmol kg
-1) 18
Table 2a.
Total CH4 emission during 70 d; O2 concentration in the floodwater, NH4
+
-N content of the soil (all measured on day 50) and dry
weight (dw) of rice shoots and roots; values between parentheses are standard errors
Treatment
a CH4 flux Dissolved O2 NH4
+
-N content Rice shoots Rice roots
(g CH
4 m–2) (Mg L–1) (mg N kg–1 dw) (g dw) (g dw)
P1 123a (10) 14.0a (1.0) 25.9a (1.1)
P2 211b (35) 4.1b (0.2) 33.7b (0.6)
P3 144a (19) 11.5a (0.6) 2.4c (0.4) 14.0a (1.3) 5.5a (0.5)
P4 138a ( 7) 5.8b (0.4) 0.8c (0.1) 23.8b (1.6) 11.5b (1.5)
a
See text for treatment description. Treatments followed by the same letter in each column are not significantly different (P <0.05) - one way Anova test with
Student – Newman – Keuls comparison of means
324
Table 3.
Total CH4 emission (during 147 d); water soluble organic carbon (WSOC) and NH4
+
-N content (data shown here are integrated values
(during 147 d) of the WSOC and NH
4
+
-N contents that were determined each time CH4 emissions were measured, see Fig. 2); av pH, av redox
potential (Eh) and porosity of the rice soil of the field experiment; F1 = rice field without
Azolla (control), F2 = rice field with first year Azolla,
F3 = rice field with fifth year
Azolla
Treatment CH
4 fluxa WSOC NH4
+
-N content pH (H2O) Eh Porosity
(g CH
4 m–2) (Mg C g–1 dw) (mg N kg–1 dw) (mV) (%)
F1 12.7 – 15.2 16.8 408 6.8 –50 52
F2 22.0 – 23.9 11.9 650 7.0 –80 54
F3 22.2 – 25.2 9.4 880 7.0 –100 55
a
Flux range measured in both static chambers
pared with P1. This explains the elevated CH
4 emission
from treatment P2.
However,
Azolla did not increase the total CH4
emission from the soils grown with rice (P3 and P4,
Table 2a), although the O
2 concentration of the water
was also markedly lower in the presence of
Azolla (P4).
The NH
4
+
levels of treatment P3 and P4 were low, probably
because N has been taken up by the rice plants.
Therefore, inhibition of CH
4 oxidation will be of minor
importance in these treatments. Thus, based on the observations
of the O
2 concentration of the overlying
water, one could also expect a higher CH
4 emission from
treatment P4 compared with P3. This was not the case
because of some influence of
Azolla on the development
of the rice plants. The formation of NH
4
+
through
N
2 fixation by the Azolla-Anabaena association (supplementary
to NH
4
+
produced via urea hydrolysis) increased
the dry weight of the rice roots and shoots (P3
and P4, Table 2a). This rhizosphere was mainly found
in the subsurface layer of the soil. In general, it has
been observed that O
2 transport through the rice plants
results in in situ CH
4 oxidation in the rhizosphere (Gilbert
et al., 1998; van der Gon & Neue, 1996). Methane
oxidation may be higher in treatment P4 than in treatment
P3 because the volume of the rhizosphere of treatment
P4 was twofold that of treatment P3. Thus, due to
the presence of
Azolla, chemical soil properties could
be developed, stimulating CH
4 production in the deeper
soil layer and at the same time in situ CH
4 removal in
the rhizosphere. Methane produced in the deeper soil
layers is oxidized while diffusing through the
rhizosphere. As a result, an increased oxidizing capacity
is offsetting the enhanced CH
4 production in treatment
P4, resulting in less CH
4 available to be transported
to the atmosphere.
From a second pot experiment (Table 2b), it could
be deduced that
Azolla can mediate transport of CH4
from the overlying water into the atmosphere. In this
pot experiment,
Azolla was put onto the water layer 1 d
before CH
4 emissions were determined. Thereafter it
was removed again. Thus, the presence of Azolla could
not have affected the rice plant roots or the soil properties.
Azolla
served here only as a possible, additional
pathway for CH
4 to escape from the soil-water interface.
When the total (= water + rice) CH
4 emission from
the soil-rice microcosm was relatively high,
Azolla significantly
affected “total” (and “water”) CH
4 emission
(day 53, Table 2b). Apparently
Azolla could transport
CH
4, which was released from the soil and dissolved
in the water layer, into the atmosphere. When
the total CH
4 emission was relatively low, “total” and
“water” CH
4 emission was not affected by Azolla (day
Table 2b.
Effect of Azolla on CH4 emission via the overlying water (water) and CH4 emission via the rice plants (rice); for treatments, see text
P4’ A
zolla covered the water only 1 d prior to CH4 measurements; values between parentheses are standard errors
High CH
4 flux (day 53)a Low CH4 flux (day 78)
Treatment (mg CH
4 m–2 h–1) (mg CH4 m–2 h–1)
Water Rice Total Water Rice Total
P3 4.1a (0.2) 16.3a (0.1) 20.4 2.9a (0.1) 3.1a (0.1) 6.0
P4’ 10.4b (0.2) 18.6a (0.3) 29.0 2.9a (< 0.0) 2.2a (0.1) 5.1
a
Treatments followed by the same letter in each column are not significantly different (P <0.05) - one way Anova test with Student – Newman – Keuls comparison
of means
325
78, Table 2b). Thus, the transport ability of
Azolla probably
also depended on the concentration of dissolved
CH
4. However, further experimental evidence is required
to confirm this observation.
Field experiments
It has been shown that the use of
Azolla for dual cropping
with rice can improve N fertilizer efficiency and
rice yield and can reduce NH
3 volatilization from rice
fields (Kumarasinghe & Eskew, 1993). However, recently,
it was shown that an
Azolla cover increased CH4
and N
2O emissions from rice fields (Chen et al., 1997).
From the above pot experiments, it was clear that
Azolla
could mediate CH
4 transport. However, due to the development
of a larger subsurface CH
4-oxidizing
rhizosphere, the effect of
Azolla on CH4 emission could
not be shown in microcosms, wherein
Azolla and rice
plants were grown as dual crops (P4). Therefore, the
effect of A
zolla on CH4 emission was also investigated
in the field.
Methane emission was measured from rice fields
with and without an
Azolla cover. The presence of Azolla
appears to increase CH
4 emission (Figure 2). The total
CH
4 emission from a rice field grown with Azolla for 1
yr (F2, Table 3) was 65% higher than emission from a
rice field without
Azolla (F1, Table 3). When the floodwater
had been inoculated with
Azolla for 5 consecutive
years (F3, Table 3), CH
4 emission was 70% higher
than the control (F1). This finding suggests an effect of
Azolla
on CH4 emission. The effect of a successive
growth of
Azolla (F3) on CH4 emission seems to be
minimal (F3). However, lack of repetitive measurements
does not allow proving the latter statistically.
Here,
Azolla also showed some important effects
on chemical soil properties, which could affect CH
4
emission. In general, emission of CH
4 from rice soils is
controlled by the balance of three processes: CH
4 production,
oxidation, and transport (both from the soil
into the water layer and from the water layer into the
atmosphere). The presence of
Azolla (F2 and F3, see
Table 3) appeared to depress WSOC and Eh and to increase
NH
4
+
-N content and porosity of the rice soil
(Table 3). Insufficient treatment replication, however,
did not allow, comparing F1, F2, and F3 statistically.
Nevertheless, both F2 and F3 showed a possibly higher
CH
4 emission. The WSOC tended to be lower in treatments
F2 and F3 than in the control treatment (F1).
This result suggests that the C substrate was not the
limiting factor for CH
4 emission. The presence of Azolla
Figure 2.
Av CH4 emission from field experiments in Shenyang during an entire growing season in 1997; F1-rice field without Azolla
(control), F2-rice with first year
Azolla, F3-rice field with fifth year Azolla
35
30
25
20
15
10
5
0
-5
5 May 25 May 14 Jun 4 Jul 24 Jul 13 Aug 2 Sep 22 Sep 12 Oct 1 Nov
F1
F2
F3
Day of the year
Methane flux (mg m
-2 h-1)
326
appeared to decrease Eh and increase overall NH
4
+
-N
content. The Eh decrease could result in an increased
CH
4 production (Patrick & DeLaune, 1977) and the
NH
4
+
increase could result in a reduced biological CH4
oxidation (King & Schnell, 1994). These two processes
may result in an enhanced net amount of CH
4 available
for transport (diffusion) into the overlying water. In
addition, the presence of
Azolla seemed to slightly increase
soil porosity, thereby improving diffusion of CH
4
from the soil into the overlying water. Thus, the presence
of A
zolla may enhance all three processes controlling
CH
4 emission from the rice soil into the overlying
water. The second pot experiment indicated that
Azolla
could also mediate CH4 transport from the overlying
water into the atmosphere.
Thus, the observed increase in CH
4 emission in
the presence of
Azolla could be explained by soil conditions
promoting CH
4 availability and CH4 diffusion
into the overlying water and by the fact that
Azolla
served as an additional pathway for CH
4 transport into
the atmosphere. However, more such field experiments
are needed to provide statistical evidence of these results.
Finally, it is also worth mentioning that in the
field experiments, root formation was not concentrated
in the subsurface layer (as observed in the pot experiment).
Therefore, CH
4 oxidation in the rhizosphere was
probably less intense than that in the pot experiment.
Acknowledgement
The financial support by ABOS (Ministry of Foreign
Affairs, Belgium) and NSFC (National Natural Science
Foundation of China) is highly appreciated.
References
Boeckx P & Van Cleemput O (1997) Methane emission from
a freshwater wetland in Belgium. Soil Sci Soc Am J 61:
1250-1256
Bronson KF, Neue HU, Singh U & Abao Jr EB (1997a) Automated
chamber measurements of methane and nitrous
oxide flux in a flooded rice soil. I. Residue nitrogen and
water management. Soil Sci Soc Am J 61:981-987
Bronson KF, Singh U, Neue HU & Abao Jr EB (1997b) Automated
chamber measurements of methane and nitrous
oxide flux in a flooded rice soil. II. Fallow periods. Soil
Sci Soc Am J 61:988-993
Chen GX, Huang GH, Huang B, Yu KW & Xu H (1997) Nitrous
oxide emissions from soil-plant systems. Nutr
Cycling Agroecosyst 49:41-45
Denier van der Gon HAC & Neue HU (1996) Oxidation of
methane in the rhizosphere of rice plants. Biol Fertil Soils
22:359-366
Galal YGM (1997) Estimation of nitrogen fixation in an
Azolla
- rice association using the nitrogen-15 isotope dilution
technique. Biol Fertil Soils 24:76-80
Gilbert B, Assmus B, Hartmann A & Frenzel P (1998) In situ
localization of two methanotrophic strains in the
rhizosphere of rice plants. FEMS Microbial Ecol 25:117-
128
IAEA – International Atomic Energy Agency (1992) Manual
on measurement of methane and nitrous oxide emission
from agriculture. IAEA - TECDOC – 674 Vienna: IAEA.
91 p
IPCC – Intergovernmental Panel on Climate Change (1996)
Climate Change 1995. The Science of Climate Change.
Cambridge: Cambridge University Press, 572 p
Keeney DR & Nelson DW (1982) Nitrogen - Inorganic forms.
In: Page et al. (eds) Methods of Soil Analysis. Madison:
American Society of Agronomy; Soil Science Society
of America Agronomy No. 9, Part 2, 2nd edition, p
643-698
King GM & Schnell S (1994) Ammonium and nitrite inhibition
of methane oxidation by
Methylobacter albus BG8
and
Methylosinus trichosporum OB3b at low methane
concentrations. Appl Environ Microbiol 60:3508-2513
Kulasooriya SA (1991) Constraints on the widespread use of
Azolla in rice production. In: Polsinelli M, Materassi R
& Vincenzini M (eds) Nitrogen fixation. Proceedings of
the fifth International Symposium on Nitrogen Fixation
with Non-legumes, 10-14 Sep 1990, Florence, Italy, 145
p
Kumarasinghe KS & Eskew DL (1993) Isotopic studies of
Azolla and nitrogen fertilization of rice. Kluwer,
Dordrecht. 145 p
McCardell A &Fuhrmann JJ (1992) Determination of
persulfate oxidizable carbon by gas chromatography. Soil
Biol Biochem 24:615-616
Patrick WH Jr & DeLaune RD (1977) Chemical and biological
redox systems affecting nutrient availability in coastal
wetland. Geosci Manage 18:131-137
Vlek PLG, Diakite MY, Mueller H (1995) The role of Azolla
in curbing volatilization from flooded rice systems. Fert
Res 42:165-174
Wagner GM (1997) Azolla: a review of its biology and utilization.
Bot Rev 63:1-26
Watanabe I, Espinas CR, Berta NS & Alimango BV. (1977).
Utilization of
Azolla-Anabaena complex as a nitrogen
fertilizer for lowland rice. Int Rice Res Pap Ser II
OTANICAL REVIEW
distribution, morphology, physiology, and reproduction
of Azolla as well as new developments
in its manifold uses.
Because of the growing concern about conservation of the environment and the need
for deploying renewable, sustainable resources; the application
of Azolla as a biofertilizer
on agricultural crops, in order to provide a natural source of the crucial nutrient nitrogen,
can be very beneficial to the future of our planet. Besides the environmental appropriateness
of the use
of AzoUa, for multitudes of farmers in many parts of the world who cannot
afford chemical fertilizers,
Azolla application can enhance their economic status, increasing
yields while minimizing costs. Due to the fact that rice paddy fields form an ideal
environment for
Azolla, one of its most suitable applications is on rice.
Besides its utilization as a biofertilizer on a variety of crops,
Azo!la earl be used as an
animal feed, a human food, a medicine, and a water purifier. It may also be used for the
production of hydrogen fuel, the production of biogas, the control of weeds, the control
of mosquitoes, and the reduction of ammonia volatilization which accompanies the
application of chemical nitrogen fertilizer.
R~sum~
Une haute productivit6 associ6e avec une capacit6 a fixer l'azote atmosph~rique
d6montre l'importance de la symbiose entre
Azolla et Anabaena. Ce fait rut responsable
des multiples 6tudes conduites et de l'int6r& port~ a cette association durant les derni&es
d6c6nnies. Mais il semblerait qu'une synthbse ainsi qu'une coordination entre ces diff&
entes entreprises soient manquantes. L'article pr6sent6 ici tente de rassembler et
synthetiser les r~sultats accumul6s sur la biologie et l'utilsation possible
d'Azolla, tout en
esp6rant ainsi faciliter la collaboration future entre chereheurs investigant cette "mine d'or
vert." La taxonomic, la distribution, la morphologie, la physiologic et la reproduction
d'AzoUa
seront couverts, ainsi que ses potentiels multiples usages.
De plus en plus, la conservation de l'environnement et le besoin d'employer des
ressources renouvelables de manibre ~t assurer leur usage continu, sont des priorit6s
importantes. L'utilisation
d'Azolla en tant qu'engrais vert pour l'agriculture, darts le but
de fournir de l'azote, 616merit crucial du cycle nutritionel, pourrait offrir une alternative
b6n6fique pour le future de notre plan~te.
Azolla peut &re utilis6e par des agriculteurs
n'ayant pas les moyens d'employer des engrais chimiques, un peu partout dans le monds,
de mani&e responsable pour le bien de l'environnement. Son application ameliorerait
leurs revenus de part son impact sur l'accroissement des rendements tout en minimalisant
le eoQt de production. Un des exemples les plus convaincant est son utilisation pour la
culture du riz, etant donn6 que les champs de riz repr~sentent un environnement ideal pour
Azolla.
Outre son emploi en tant qu'engrais vert pour diff6rentes productions agricoles,
Azolla
peut aussi tr~s bien ~tre utilis~e en tant que nourriture pour les productions animali~res,
pour la consommation humaine, eomme eomposant pharmaceutique, ou &re utilis~e dans
un processus de purification de l'eau. Son emploi peut aussi inelure la production
d'hydrog~ne en tant que combustible, la production de biogaz, le controle de plantes non
desir6es, le eontrole des moustiques, ou participer ~t la r6duction d'6mission d'azote lots
de l'6pandage d'engrals chimiques.
OTANICAL REVIEW

distribution, morphology, physiology, and reproduction

of Azolla as well as new developments




in its manifold uses.

Because of the growing concern about conservation of the environment and the need

for deploying renewable, sustainable resources; the application

of Azolla as a biofertilizer




on agricultural crops, in order to provide a natural source of the crucial nutrient nitrogen,

can be very beneficial to the future of our planet. Besides the environmental appropriateness

of the use

of AzoUa, for multitudes of farmers in many parts of the world who cannot




afford chemical fertilizers,

Azolla application can enhance their economic status, increasing




yields while minimizing costs. Due to the fact that rice paddy fields form an ideal

environment for

Azolla, one of its most suitable applications is on rice.




Besides its utilization as a biofertilizer on a variety of crops,

Azo!la earl be used as an




animal feed, a human food, a medicine, and a water purifier. It may also be used for the

production of hydrogen fuel, the production of biogas, the control of weeds, the control

of mosquitoes, and the reduction of ammonia volatilization which accompanies the

application of chemical nitrogen fertilizer.




R~sum~




Une haute productivit6 associ6e avec une capacit6 a fixer l'azote atmosph~rique

d6montre l'importance de la symbiose entre

Azolla et Anabaena. Ce fait rut responsable




des multiples 6tudes conduites et de l'int6r& port~ a cette association durant les derni&es

d6c6nnies. Mais il semblerait qu'une synthbse ainsi qu'une coordination entre ces diff&

entes entreprises soient manquantes. L'article pr6sent6 ici tente de rassembler et

synthetiser les r~sultats accumul6s sur la biologie et l'utilsation possible

d'Azolla, tout en




esp6rant ainsi faciliter la collaboration future entre chereheurs investigant cette "mine d'or

vert." La taxonomic, la distribution, la morphologie, la physiologic et la reproduction




d'AzoUa

seront couverts, ainsi que ses potentiels multiples usages.




De plus en plus, la conservation de l'environnement et le besoin d'employer des

ressources renouvelables de manibre ~t assurer leur usage continu, sont des priorit6s

importantes. L'utilisation

d'Azolla en tant qu'engrais vert pour l'agriculture, darts le but




de fournir de l'azote, 616merit crucial du cycle nutritionel, pourrait offrir une alternative

b6n6fique pour le future de notre plan~te.

Azolla peut &re utilis6e par des agriculteurs




n'ayant pas les moyens d'employer des engrais chimiques, un peu partout dans le monds,

de mani&e responsable pour le bien de l'environnement. Son application ameliorerait

leurs revenus de part son impact sur l'accroissement des rendements tout en minimalisant

le eoQt de production. Un des exemples les plus convaincant est son utilisation pour la

culture du riz, etant donn6 que les champs de riz repr~sentent un environnement ideal pour




Azolla.




Outre son emploi en tant qu'engrais vert pour diff6rentes productions agricoles,

Azolla




peut aussi tr~s bien ~tre utilis~e en tant que nourriture pour les productions animali~res,

pour la consommation humaine, eomme eomposant pharmaceutique, ou &re utilis~e dans

un processus de purification de l'eau. Son emploi peut aussi inelure la production

d'hydrog~ne en tant que combustible, la production de biogaz, le controle de plantes non

desir6es, le eontrole des moustiques, ou participer ~t la r6duction d'6mission d'azote lots

de l'6pandage d'engrals chimiques.