Senin, 15 Februari 2016







PERTUMBUHAN DAN KONTROL BAKTERI

A. NUTRISI PERTUMBUHAN BAKTERI
Semua bentuk kehidupan mempunyai persamaan dalam hal persyaratan nutrisi berupa zat–zat kimiawi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan aktivitas lainnya. Nutrisi bagi pertumbuhan bakteri, seperti halnya nutrisi untuk organisme lain mempunyai kebutuhan akan sumber nutrisi, yaitu:
1. Bakteri membutuhkan sumber energi yang berasal dari energi cahaya (fototrof)dan senyawa kimia
    (kemotrof).
2. Bakteri membutuhkan sumber karbon berupa karbon anorganik (karbon dioksida)dan karbon
     organik (seperti karbohidrat).
3. Bakteri membutuhkan sumber nitrogen dalam bentukm garam nitrogen anorganik (seperti kalium nitrat) dan nitrogen organik (berupa protein dan asam amino).
4. Bakteri membutuhkan beberapa unsur logam (seperti kalium, natrium,
magnesium, besi, tembaga dsb).
5. Bakteri membutuhkan air untuk fungsi – fungsi metabolik dan pertumbuhannya.
Bakteri dapat tumbuh dalam medium yang mengandung satu atau lebih
persyaratan nutrisi seperti di atas. Keragaman yang luas dalam tipe nutrisi bakteri,
memerlukan penyiapan medium yang beragam untuk menumbuhkannya. Medium
pertumbuhan bakteri dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria, seperti berdasarkan
sumbernya, tujuan kultivasi, status fisik dsb.






B. PERTUMBUHAN BAKTERI

1. Kurva Pertumbuhan Bakteri.



Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan jumlah atau volume

serta ukuran sel. Pada organisme prokariot seperti bakteri, pertumbuhan merupakan

pertambahan volume dan ukuran sel dan juga sebagai pertambahan jumlah sel.

Pertumbuhan sel bakteri biasanya mengikuti suatu pola pertumbuhan tertentu berupa

kurva pertumbuhan sigmoid (Gambar 4-1)

Perubahan kemiringan pada kurva tersebut menunjukkan transisi dari satu

fase perkembangan ke fase lainnya. Nilai logaritmik jumlah sel biasanya lebih sering

dipetakan daripada nilai aritmatik. Logaritma dengan dasar 2 sering digunakan,

karena setiap unit pada ordinat menampilkan suatu kelipatan-dua dari populasi.

Kurva pertumbuhan bakteri dapat dipisahkan menjadi empat fase utama : fase lag

(fase lamban atau lag phase), fase pertumbuhan eksponensial (fase pertumbuhan

cepat atau log phase), fase stationer (fase statis atau stationary phase) dan fase

penurunan populasi (decline). Fase-fase tersebut mencerminkan keadaan bakteri

dalam kultur pada waktu tertentu. Di antara setiap fase terdapat suatu periode

peralihan dimana waktu dapat berlalu sebelum semua sel memasuki fase yang baru.

Log Jumlah sel

c

d

b

a

Waktu (t)

45

Gambar 4.1. Kurva Pertumbuhan Bakteri, menunjukkan empat fase pertumbuhan: a=

fase lag; b=fase eksponensial; c=fase stasioner dan d=fase kematian populasi

(sumber: Brock & Madigan,1991)

FASE LAG. Setelah inokulasi, terjadi peningkatan ukuran sel, mulai pada waktu sel

tidak atau sedikit mengalami pembelahan. Fase ini, ditandai dengan peningkatan

komponen makromolekul, aktivitas metabolik, dan kerentanan terhadap zat kimia

dan faktor fisik. Fase lag merupakan suatu periode penyesuaian yang sangat penting

untuk penambahan metabolit pada kelompok sel, menuju tingkat yang setaraf dengan

sintesis sel maksimum.

FASE LOG/PERTUMBUHAN EKSPONENSIAL. Pada fase eksponensial atau

logaritmik, sel berada dalam keadaan pertumbuhan yang seimbang. Selama fase ini,

masa dan volume sel meningkat oleh faktor yang sama dalam arti rata-rata komposisi

sel dan konsentrasi relatif metabolit tetap konstan. Selama periode ini pertumbuhan

seimbang, kecepatan peningkatan dapat diekspresikan dengan fungsi eksponensial

alami. Sel membelah dengan kecepatan konstan yang ditentukan oleh sifat intrinsik

bakteri dan kondisi lingkungan. Dalam hal ini terdapat keragaman kecepatan

pertumban berbagai mikroorganisme. Waktu lipat dua untuk E. coli dalam kultur

kaldu pada suhu 37

oC, sekitar 20 menit, sedangkan waktu lipat dua minimal sel


mamalia sekitar 10 jam pada temperatur yang sama.

FASE STASIONER. Pada saat digunakan kondisi biakan rutin, akumulasi produk

limbah, kekurangan nutrien, perubahan pH, dan faktor lain yang tidak diketahui akan

mendesak dan mengganggu biakan, mengakibatkan penurunan kecepatan

pertumbuhan. Selama fase ini, jumlah sel yang hidup tetap konstan untuk periode

yang berbeda, bergantung pada bakteri, tetapi akhirnya menuju periode penurunan

populasi. Dalam beberapa kasus, sel yang terdapat dalam suatu biakan yang populasi

selnya tidak tumbuh dapat memanjang, membengkak secara abnormal, atau

mengalami penyimpangan, suatu manifestasi pertumbuhan yang tidak seimbang.

FASE PENURUNAN POPULASI ATAU FASE KEMATIAN. Pada saat medium

kehabisan nutrien maka populasi bakteri akan menurun jumlahnya, Pada saat ini

jumlah sel yang mati lebih banyak daripada sel yang hidup.

46



2. Kecepatan/Laju Pertumbuhan dan Waktu Generasi.



Pengetahuan mengenai kecepatan pertumbuhan bersifat penting dalam

menentukan keadaan atau status kultur sebagai kesatuan. Jika satu dugaan waktu

lipat-dua jumlah sel bakteri awal No pada waktu g, konsentrasi akhir

mikroorganisme Nt ialah:

Nt = No

2 n …………………………. (1)


Dimana n adalah jumlah pembelahan sel pada waktu t. Persamaan

t

g = ------------ …………………………… (2)

n

mengekspresikan waktu lipat-dua atau waktu generasi. Istilah waktu lipat-dua

menampilkan waktu generasi rata-rata dalam biakan sebagai kesatuan, biasanya

ditentukan oleh kelipatan-dua masa mikroba dalam biakan. Sebaiknya waktu

generasi ditentukan dengan perhitungan. Peningkatan massa sel ditentukan dalam

interval waktu yang diketahui dan waktu generasi dihitung dari nilai yang diperoleh.

Persamaan (2) disusun kembali menjadi :

t

n = -------------

g

Kemudian dimasukkan ke dalam persamaan (1), maka

Nt = No

2 n (1) Nt = No2 t/g (3)


Dengan mengkonversi mejadi bentuk logaritmik, maka diperoleh

ln 2 t 0,69 t

g = ------------------- = --------------------------- (4)

ln Nt - ln No ln Nt - ln No

Persamaan (4) merupakan rumus untuk menghitung waktu generasi dari dua

pengukuran yang memberikan peningkatan masa pada waktu t.Pengukuran harus

dilakukan dalam kondisi konstan, dan sebaiknya sejumlah mikroorganisme

ditentukan sebagai berat kering.

Untuk menghitung laju pertumbuhan spesifik atau laju pertumbuhan

47

eksponensial suatu mikroorganisme, digunakan bentuk logaritmik dengan persamaan

(3) :

ln 2 t

ln Nt = t ------------- + ln No (5)

g

Untuk fase pertumbuhan eksponensial, ekspresi (ln 2)/g konstan. Oleh karena itu,

pada persamaan (5) kita dapat menggantinya dengan (. Menghasilkan persamaan :

ln Nt = ( t + ln No) (6)

Ketika nilai t dipetakan pada absis dan nilai ln Nt pada ordinat, diperoleh garis lurus

dan ( konstan merupakan lereng dari garis lurus tersebut. Hal tersebut menentukan

laju pertumbuhan masa bakteri sebagai fungsi waktu. Oleh karena itu disebut laju

pertumbuhan spesifik (specific growth rate atau instataneous growth rate) konstan.

Nilainya dapat ditentukan dengan grafik atau dengan perhitungan :

ln 2 0,69



m

= -------- = ----------- (7)


g g

atau dapat dihitung langsung dari persamaan (6):

ln Nt - ln No



m

= -------------------------------- (8)


D

t


dimana waktu t merupakan interval waktu t1 - t2 selama masa bakteri meningkat

menjadi nilai Nt.

Laju pertumbuhan instantaneous (spesifik untuk setiap mikroorganisme dan

medium biakan. Hal tersebut awalnya dibentuk oleh faktor-faktor seperti kapasitas

pertumbuhan mikroorganisme tetapi dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam

mengekspresikan nilai maksimum yang ril, nilai yang tercatat untuk fase

eksponensial pada kurva pertumbuhan, biakan harus tumbuh di bawah kondisi

lingkungan optimal pada medium yang tidak dibatasi oleh kelebihan substrat dan

faktor pertumbuhan, jadi laju pertumbuhan tidak bergantung pada faktor tersebut.

48



C. PENGHITUNGAN POPULASI BAKTERI



Pada saat ditempatkan dalam medium nutrisi lengkap, sel bakteri tumbuh

lebih besar dan akhirnya membelah menjadi dua sel. Hal ini berkesinambungan

dengan produksi populasi vegetatif sel yang tidak terdiferensiasi. Dalam

perkembangan biakan bakteri, terjadi peningkatan massa sel dan jumlah organisme,

tetapi hubungan kedua parameter tersebut tidak konstan. Penelitian kuantitatif perlu

dilakukan terhadap pertumbuhan sel, oleh karena itu perlu dicatat perbedaan antara

konsentrasi sel, atau jumlah sel per unit volume biakan, dengan kepadatan bakteri,

yang didefinisikan sebagai protoplasma total per unit volume.

Massa sel ditentukan langsung dalam berat kering. Metode tersebut,

memakan-waktu, khususnya mengunakan referensi dalam isolasi dan pemurnian dan

dalam kalibrasi dasar metode lain. Metode yang sering digunakan untuk menaksir

berat atau jumlah biomassa total dalam suspensi ialah mengukur densitas optik kultur

kaldu dengan spektrofotometer. Teknik tubidimetrik, secara khusus digunakan untuk

menentukan masa sel selama pertumbuhan, sebagai evaluasi terhadap efek zat

antibakteri terhadap bakteri. Metode lain untuk menentukan berat atau jumlah sel,

dengan menentukan nitrogen dan mengukur volume sel yang telah disentrifugasi.

Jumlah bakteri dalam suatu biakan dapat ditentukan dengan menghitung

langsung jumlah keseluruhan bakteri atau dengan cara tidak langsung, menghitung

jumlah sel yang hidup. Jumlah total bakteri yang hidup dan mati dapat dilakukan

dengan menggunakan alat penghitung seperti Petroff-Houser counter, atau cara yang

lebih tepat dengan Coulter counter, suatu alat penghitung partikel elektronik yang

mengukur penyebaran ukuran dan jumlah dalam suspensi bakteri.

Untuk menghitung jumlah yang hidup, diperlukan pembiakan pada

permukaan lempeng agar. Populasi mikroorganisme diencerkan dalam pelarut

nontoksik, dan populasi yang tercampur rata disebarkan dalam atau pada medium

padat yang sesuai, jadi setelah inkubasi setiap unit yang hidup membentuk satu

koloni. Jumlah individu yang hidup atau cluster yang ada ditentukan dari jumlah

koloni dan pengenceran. Sampel yang mengandung mikroorganisme lebih dari 100

sel per mililiter, seperti urin atau dari sumber air minum, memerlukan pemekatan

sebelum dilakukan penghitungan. Hal ini dilakukan melalui filter membran steril

dengan ukuran pori yang dapat menahan semua bakteri, selanjutnya membran

49

dipindahkan ke suatu lapisan absorben yang jenuh oleh kaldu nutrien.



D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN

BAKTERI



Pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan seluruh unsur pokok kimia

sel. Hal tersebut merupakan suatu proses yang memerlukan replikasi seluruh

struktur, organel, dan komponen protoplasma seluler dengan adanya nutrien dalam

lingkungan sekelilingnya. Dalam pertumbuhan bakteri, semua substansi esensial

harus tersedia untuk sintesis dan pemeliharaan protoplasma, dengan sumber energi,

dan kondisi lingkungan yang sesuai.

Sebagai suatu kelompok, bakteri merupakan organisme yang sangat “pintar”.

Mereka memperlihatkan kemampuan yang sangat besar dalam menggunakan bahan

makanan yang tersebar, menyusun bahan anorganik menjadi senyawa organik yang

sangat kompleks. Beberapa spesies juga belajar tumbuh pada berbagai relung

ekologik dengan temperatur, keasaman, dan tekanan oksigen yang ekstrim.

Kemampuan bakteri untuk bertahan di bawah keadaan sekitar yang demikian

merupakan perlindungan dari adaptabilitas tinggi dan refleks kapasitasnya dalam

keberhasilan merespon suatu stimulus yang dianggap asing atau tidak pernah ditemui

sebelumnya.



1. Faktor Nutrisi



Karbon. Dua pola dasar kebutuhan nutrisi bakteri dan cermin kemampuan

metabolisme yang dimilikinya disajikan dalam Tabel 4-2. Bakteri Autotrofik

(litotrof), untuk pertumbuhannya hanya membutuhkan air, garam anorganik dan

karbon dioksida. Kelompok ini mensintesis karbon dioksida menjadi sebagian besar

metabolit organik esensial. Bakteri heterotrofik (organotrof) membutuhkan karbon

organik untuk pertumbuhannya. Dalam praktek laboratorium, glukosa secara luas

digunakan sebagai sumber karbon organik, tetapi berbagai senyawa lain juga dapat

digunakan secara khusus atau sumber karbon tertentu oleh bakteri yang berbeda. Di

antara bakteri yang “pintar”,

Pseudomonas menggunakan lebih dari 100 senyawa


organik yang berbeda sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi.

50



Tabel 4-2. Klasifikasi Bakteri Berdasarkan Sumber Karbon dan Energi

(Sumber: Brock & Madigan,1991).



____________________________________________________________________

Tipe Sumber Karbon Sumber Energi Donor elektron Contoh

____________________________________________________________________



Fotolitotrof CO2 Cahaya Senyawa organik Bakteri sulfur ungu/hijau

(H2S, S)

Fotoorganotrof Senyawa Organik Cahaya Senyawa organik Bakteri nonsulfur Ungu

(Sebagai tambahan terhadap CO2)

Kemolitotrof CO2 Reaksi Redoks Senyawa organik Bakteri denitrifikasi

(H2, S, H2S, NH3, Fe)

Kemoorganotrof CO2 Reaksi Redoks Senyawa organik Sebagian besar bakteri

(Glukosa),



____________________________________________________________________



Faktor Pertumbuhan


. Sejumlah bakteri heterorofik tidak dapat tumbuh tanpa suplai


satu atau lebih faktor pertumbuhan. Senyawa tersebut biasanya ditambahkan dalam

medium kultur dalam bentuk ekstrak ragi atau darah, termasuk vitamin B-kompleks,

asam amino, purin, dan pirimidin. Vitamin B-kompleks berperan sebagai katalitik

dalam sel juga komponen koenzim atau sebagai grup prostetik enzim. Organisme

yang mampu mensintesis faktor pertumbuhan biasanya tidak memerlukan senyawa

tersebut dari luar.



Ion anorganik


. Sejumlah kecil ion anorganik dibutuhkan oleh semua bakteri.


Selain nitrogen, sulfur dan fosfor yang terdapat sebagai unsur dalam senyawa

biologik , kalium, magnesium dan kalsium pada bakteri fungsinya berhubungan

dengan polimer anionik tertentu. Magnesium berfungsi menstabilkan ribosom,

membran sel, asam nukleat, dan dibutuhkan untuk aktivitas sejumlah enzim. Kalium

juga dibutuhkan untuk aktivitas sejumlah enzim, dan konsentrasi kalium dalam sel

bakteri Gram-positif dipengaruhi oleh kandungan asam teikoat pada dinding sel.

Sebagian besar bakteri membutuhkan besi, magnesium, seng, kupri, dan kobalt, dan

untuk bakteri lain kebutuhan molibdenum dan selenium dianggap esensial.

Kebutuhan unsur tersebut untuk bakteri lain lebih sulit untuk diperkirakan, karena

kadang-kadang diperlukan atau kehadirannya dianggap sebagai unsur kontaminan

dalam medium.

51

Unsur dalam jumlah yang sedikit (trace element) berperan penting dalam

inetraksi inang-parasit. Pada inang hewan, kekuatan protein pengikat-besi dalam

cairan tubuh berfungsi untuk menahan besi terhadap serangan mikroorganisme yang

masuk. Keberhasilan mikroorganisme memasuki inang, akan dapat meningkatkan

kemampuannya untuk mengambil besi, dan dengan giat mengekstrak besi dari

berbagai lingkungannya. Sejumlah senyawa besi (siderophore) sudah dikenal pada

beberapa spesies bakteri. Kehadirannya sangat penting untuk pengambilan besi, dan

signifikan secara evolusiner untuk keberhasilan kompetisi dengan inangnya dalam

hal nutrisi esensial yang jumlahnya terbatas.



Oksigen


. Kebutuhan oksigen pada bakteri tertentu mencerminkan mekanisme


yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Berdasarkan kebutuhan

oksigen tersebut, bakteri dapat dipisahkan menjadi lima kelompok:

1. Anaerob obligat yang tumbuh hanya dalam keadaan tekanan oksigen yang

sangat rendah dan oksigen bersifat toksik.

2. Anaerob aerotoleran yang tidak terbunuh dengan paparan oksigen.

3. Anaerob fakultatif, dapat tumbuh dalam keadaan aerob dan anaerob.

4. Aerob obligat, membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya.

5. Bakteri mikroaerofilik yang tumbuh baik pada tekanan oksigen rendah,

tekanan oksigen

tinggi dapat menghambat pertumbuhan.

Pada anaerob toleran dan obligat, metabolismenya bersifat fermentatif kuat.

Pada anaerob fakultatif, cara metabolisme respirasi dilakukan jika tersedia oksigen,

tetapi tidak terjadi fermentasi. Pada saat bakteri tumbuh dalam keadaan terdapat

udara, terjadi sejumlah reaksi enzimatik dan mengakibatkan produksi hidrogen

peroksida dan radikal superoksida. Pada bakteri aerob, aerotoleran, dan anaerob

fakultatif, enzim dismutase superoksida mencegah akumulasi ion superoksida, tetapi

pada anaerob obligat enzim tersebut tidak terdapat:



Superoksida

dismutase



2O

2 - + 2H+ O2 + H2O2


Pada bakteri anaerob fakultatif dan aerobik, hidrogen peroksida yang

52

dibentuk dalam reaksi dismutase secara cepat dirusak oleh katalase. Meskipun

bakteri aerotoleran, seperti bakteri asam laktat tidak memiliki katalase, peroksidase

yang dimilikinya dapat merusak H

2O2 , menyebabkan bakteri dapat tumbuh pada


keadaan tersedianya oksigen.

Target yang mungkin dirusak oleh H

2O2 dan O2 – termasuk protein membran


luar spesifik, komponen aktif redoks pada membran sitoplasma, dan enzim pada

daerah periplasma. Pada Treponema pallidum, sensitivitas oksigen menjadi relatif

terhadap kerusakan DNA yang disebabkan H

2O2.


Karbon dioksida


. Bakteri pengguna CO2 sebagai sumber karbon seluler


utama, ialah bakteri kemolitotrof dan fotolitotrof . Selain itu, kemoorganotrof juga

membutuhkan suplai CO

2 yang memadai untuk fiksasi CO2 heterotrofik dan untuk


sintesis asam lemak. Karbon dioksida secara normal dihasilkan selama katabolisme

senyawa organik, oleh karena itu tidak dianggap sebagai faktor pembatas. Beberapa

bakteri, seperti

Neisseria dan Brucella, memiliki satu atau banyak enzim yang


berafinitas rendah terhadap CO

2 dan membutuhkan CO2 pada konsentrasi yang lebih


tinggi (10%) dibanding CO

2 yang terdapat di atmosfir (0,03%). Keadaan ini harus


dipertimbangkan untuk kepentingan isolasi dan biakan bakteri tersebut.



2. Faktor Fisik

Potensial Reduksi-Oksidasi


. Potensial Reduksi-Oksidasi (Eh) pada medium


kultur merupakan faktor kritis dalam penentu pertumbuhan suatu inokulum yang ada

pada saat dipindahkan ke media yang baru. Pada sebagian besar media yang kontak

dengan udara,

Eh sekitar + 0,2 sampai + 0,4 Volt pada pH 7. Anaerob obligat tidak dapat tumbuh

pada keadaan demikian, Eh yang dibutuhkan paling sedikit – 0,2 Volt. Keadaan

kultur anaerobik dapat dibuat dengan mengeluarkan oksigen, menggunakan sistem

kultur anaerobik atau dengan penambahan senyawa yang mengandung-sulfidril,

seperti kalsium tioglikolat (merkaptoasetat). Selama pertumbuhannya bakteri aerobik

dan anaerobik mengalami penurunan Eh lingkungan, hal ini dapat diamati dan

penting dalam infeksi bernanah yang disebabkan oleh campuran bakteri aerobik

dan anaerobik yang mampu menyebabkan infeksi yang dimulai oleh bakteri aerobik.



Temperatur


. Setiap bakteri memiliki temperatur optimal dimana mereka


53

dapat tumbuh sangat cepat dan memiliki rentang temperatur dimana mereka dapat

tumbuh. Pembelahan sel sangat sensitif terhadap efek kerusakan yang disebabkan

temperatur; betuk yang besar dan aneh dapat diamati pada pertumbuhan kultur pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur yang mendukung tingkat pertumbuhan

yang sangat cepat.

Berdasarkan rentang temperatur dimana dapat terjadi pertumbuhan, bakteri

dikelompokkan menjadi tiga:

1. Psikrofilik, -5

oC sampai 30oC, optimum pada 10-20oC;


2. Mesofilik, 10-45

oC, optimum pada 20-40oC;


3. Termofilik, 25-80

oC, optimum pada 50-60oC.


Temperatur optimal biasanya mencerminkan lingkungan normal

mikroorganisme. Jadi, bakteri patogen pada manusia biasanya tumbuh baik pada

temperatur 37

oC.


Konsentrasi Ion Hidrogen


. pH medium biakan juga mempengaruhi


kecepatan pertumbuhan, untuk pertumbuhan bakteri juga terdapat rentang pH dan pH

optimal. Pada bakteri patogen pH optimalnya 7,2 – 7,6. Meskipun medium pada

awalnya dikondisikan dengan pH yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tetapi, secara

bertahap besarnya pertumbuhan akan dibatasi oleh produk metabolit yang dihasilkan

mikroorganisme tersebut.

Bakteri memiliki mekanisme yang sangat efektif untuk memelihara kontrol

regulasi pH sitoplasmanya (pHi). Pada sejumlah bakteri, pH berbeda dengan 0,1 unit

per perubahan pH pada pH eksternal. Hal ini disebabkan kontrol aktivitas sistem

transpr ion yang mempermudah masuknya proton. Bermacam-macam sistem yang

mencerminkan luas rentang nilai pHi diperlihatkan oleh berbagai bakteri. Asidofil

memiliki nilai rentang pHi 6,5 – 7,0; neutrofil memiliki nilai rentang pHi 7,5 – 8,0,

dan alkalofil memiliki nilai rentang pHi 8,4 – 9,0. Mikroorganisme fermentatif

memperlihatkan rentang nilai pHi yang lebih tinggi dibandingkan dengan

mikroorganisme yang menggunakan jalur respirasi. Pada mikroorganisme

fermentatif , produksi produk fermentatif yang bersifat asam dan akumulasinya

mengakibatkan gangguan keseimbangan pH dan pembatasan pertumbuhan. Sejumlah

mikroorganisme meningkatkan mekanisme kompensasi untuk mencegah efek toksik

dari akumulasi produk yang bersifat asam dan berkonsentrasi tinggi tersebut. Contoh

54

mekanisme tersebut, dengan menginduksi jalur metabolik baru untuk tujuan produksi

produk netral butanol dari butirat oleh

Clostridium acetobutylicum dan butanediol


dari asetat oleh

Klebsiella aerogenes.


Kondisi Osmotik


. Konsentrasi larutan yang aktif secara osmotik di dalam sel


bakteri, umumnya lebih tinggi dari konsentrasi di luar sel. Sebagian besar bakteri,

kecuali pada

Mycoplasma dan bakteri yang mengalami kerusakan dinging selnya,


tidak toleran terhadap perubahan osmotik dan akan mengembangkan sistem transpor

kompleks dan alat pengatur sensor-osmotik untuk memelihara keadaan osmotik

konstat dalam sel.

Membrane-derived Oligosaccharide (MDO), suatu unsur sel yang terdapat

pada

E. coli. Pada E. coli dan bakteri Gram-negatif lain, terdapat dua bagian cairan


yang berbeda, sitoplasma yang terdapat pada membran dalam, dan daerah periplasma

yang terdapat di antara membran luar dan membran dalam. Pada saar bakteri ini

tumbuh pada medium dengan osmolaritas rendah maka membran sitoplasma yang

sdikit kaku akan mengembang paling tidak dapat mencegah perubahan osmolaritas

daerah periplasma, sama dengan pada sitoplasma.Pada sel yang tumbuh dalam

medium dengan osmolaritas rendah, MDO merupakan sumber utama anion

terfiksasi pada daerah periplasma dan berperan memelihara tekanan osmotik tinggi

dan potensial membran Donnan pada bagian periplasma. Struktur oligosakarida ini

sangat layak untuk peran pengaturan tersebut. Oligosakarida ini memiliki BM antara

2200-2600 dan bersifat impermeabel terhadap membran luar, suatu komponen

penting untuk fungsi spesifiknya. Oligosakarida ini terdiri dari 8-10 unit glukosa.

Pertumbuhan sel pada medium dengan osmolaritas rendah mensintesis MDO pada

kecepatan maksimum, kecepatan sintesis nampaknya diatur secara genetik untuk

merespon perubahan osmolaritas medium.



E. SIKLUS SEL BAKTERI



Sel yang tumbuh dipersiapkan untuk membelah. Laju pertumbuhan, dan

frekuensi pembelahan bergantung pada spesies dan kondisi lingkungan. Dalam

periode yang pendek, seringkali selama 20 menit, suatu bakteri dapat membentuk

duplikatnya yang lengkap, yang kemudian disebut kemampuan berduplikasi. Pada

baiakan pertumbuhan eksponensial, bakteri membelah setelah menggandakan

55

volume sel dengan menggandakan panjang sel.

Bakteri tidak menunjukkan siklus sel seperti pada organisme eukariot.

Sedangkan sintesis DNA sel eukariot dibatasi fase S siklus sel, pada bakteri yang

tumbuh secara eksponensial sintesis DNA terjadi sepanjang siklus pembelahan saja.

Pada bakteri tahap duplikasi tidak berurutan satu dengan lainnya tetapi overlap

(saling tumpang tindih), banyaknya overlaping bergantung pada medium biakan.



1. Sporulasi



Komponen unik bakteri tertentu (contoh

Bacillus dan Clostridium) adalah


kemampuannya untuk membentuk endospora. Pada beberapa titik dalam siklus sel

vegetatif bakteri pembentuk-spora, pertumbuhan diistirahatkan dan sel berubah

secara progresif mengakibatkan pembentukan endospora (Gambar 4-2).Spora

merupakan struktur dorman yang mampu bertahan dalam periode yang lama dan

dibantu dengan kapasitas untuk membentuk kembali tahap vegetatif pertumbuhan di

bawah kondisi lingkungan yang sesuai. Proses yang dilibatkan dalam sporulasi, juga

pemecahan spora dorman dan tahap munculnya sel vegetatif, menyajikan suatu

contoh primitif dari diferensiasi uniseluler.



Komponen Endospora



Pembentukan endospora terjadi selama fase stationer pertumbuhan setelah

terjadi penurunan nutrien tertentu dalam medium biakan atau lingkungan. Spora

tunggal dihasilkan dalam satu sel vegetatif dan berbeda dari sel induknya dalam hal

morfologi dan komposisi, peningkatan resistensi terhadap lingkungan yang

merugikan, dan ketiadaan kemampuan mendeteksi aktivitas metabolik. Resistensi

spora terhadap panas menjadi perhatian utama dalam bidang kesehatan, tetapi

peningkatan resistensi spora terhadap pengeringan, pembekuan, radiasi dan

pengrusakan oleh senyawa kimia, merupakan faktor yang sangat penting dalam

lingkungan alaminya. Nilai selektif primer spora terletak pada panjang usianya dalam

tanah berpasangan dengan kemampuan untuk bergerminasi di bawah kondisi

lingkungan yang sesuai.



Dasar Resistensi Spora


. Pada sel yang bersporulasi, resistensi terhadap


berbagai bahan kimia dan faktor fisik nampak pada setiap tahap yang berbeda,

bersamaan dengan perubahan komposisi fisikokimia sel. Resistensi terhadap radiasi,

56

kekeringan, dan bahan kimia toksik terjadi setelah sel terlihat berbias dan bergantung

paling tidak pada bagian komponen kaya-sistein, yaitu protein pelapis spora miripkeratin.

Reistensi terhadap panas ditandai dengan kandungan air yang sangat rendah

pada protoplas yang menyebabkan protein dan asam nukleat lebih resisten terhadap

denaturasi. Penurunan kandungan air terjadi pada tahap akhir sporulasi, pada waktu

pembentukan korteks dan pada saat spora pertamakali terlihat sebagai obyek yang

membias. Komponen utama korteks adalah peptidoglikan yang secara radikal

berbeda dari sel vegetatifnya. Peptidoglikan dinding sel dimana terdapat banyak

hubungan-lintas tetrapeptida, pada polimer korteks keadaan terjadi sebaliknya,

hubungan-lintas tersebut nampak menurun. Penurunan derajat hubungan-lintas

dianggap berperan penting dalam kontraksi pemadatan dan dehidrasi korteks selama

sporulasi. Korteks sendiri mampu dan berperan memelihara status resisten pada

protoplas.

Resistensi terhadap panas juga berhubungan dengan konsentrasi kalsium dalam spora

dan selama tahap sintesis asam dipikolinat sebagai komponen spora-spesifik. Asam

dipikolinat merupakan bahan chelator (pengambil ) yang terdapat sebagai garam

kalsium dalam protoplas spora dan jumlahnya sebanyak 10% dari berat kering spora

matur. Dipikolinat menyisip dalam struktur heliks DNA, menggantikan air

intramolekuler juga berikatan dengan jenis RNA yang berbeda.



2. Biokimia Sporulasi



Pada beberapa periode perkembangan sel, secara irreversibel metabolisme

disalurkan pada arah sporulasi. Bukan satu macam hal yang bertanggung jawab

dalam proses sporulasi, sebagai satu kesatuan tetapi setiap makromolekul spesifik

bertanggung jawab pada setiap poin secara terpisah. Serangkaian perubahan struktur

dan sitologik diperlukan menyertai perubahan fisiologik tersebut (Gambar 3-7).

Polimer cadangan tertentu, seperti poli-(-hidroksibutirat, berakumulasi dan

dimanfaatkan selama sporulasi.Terjadi pengurangan makromolekul secara besarbesaran,

dan secara drastis terjadi tahap perubahan beberapa enzim. Disintesis

struktur spora, dan struktur yang ada sebelumnya didegradasi. Kelompok molekul

kecil ditemukan dalam spora yang sifatnya berbeda dari sel vegetatif. Selain asam

dipikolinat, terdapat akumulasi ion divalen, dan asam L-glutamat tahap tinggi.

57

Komponen predominan mereduksi kumpulan fosfat terlarut-asam yaitu asam 3-

fosfogliserat sebagai pengganti ATP, yang merupakan komponen sel vegetatif.

Selama sporulasi dapat diamati beberapa perbedaan pola aktivitas enzim.

Diantaranya yang berhubungan dengan mekanisme pembentukan spora, dan yang

lain merupakan komponen spesifik pada spora itu sendiri. Katalase tahan-panas

ditemukan dalam spora yang secara imunologik berbeda dari enzim sel vegetatif, dan

enzim tertentu seperti glukosa dehidrogenase, suatu ribosilase, dan enzim litik spora

yang hanya terdapat dalam spora. Salah satu tahap perubahan yang terjadi secara

tiba-tiba ialah produksi dan sekresi antibiotik peptida dan berbagai eksoenzim

khususnya protease. Protease berperan penting dalam pergantian protein intraseluler,

tetapi hubungan antara sporulasi dengan produksi antibiotik belum diketahui. Selama

sporulasi juga disintesis protein spora tterlarut-asam berukuran kecil (small acidsoluble

spore proteins/SASP), yang disimpan dalam spora matang, protein ini secara

cepat didegradasi menjadi asam amino bebas selama germinasi, dan digunakan

kembali untuk sintesis protein. Dua dari protein tersebut juga memperlihatkan peran

kunci pada resistensi spora dorman terhadap panas dan radiasi UltraViolet.



Permulaan Sporulasi



Sporulasi merupakan respon terhadap penurunan kadar nutrisi, khususnya

ketersediaan sumber karbon dan nitrogen. Regulasi pembentukan spora bersifat

negatif: sel membuat represor dari beberapa senyawa yang terkandung dalam

medium untuk mencegah dimulainya sporulasi. Ketika senyawa tersebut berkurang,

penghambat dilepaskan dan terjadi sporulasi. Kelangsungan metabolisme karbon dan

nitrogen diperlukan untuk hambatan sporulasi. Jika proses tersebut menurun,

hambatan akan dibebaskan dan sporulasi dimulai.

Faktor spesifik yang mengatur inisiasi sporulasi ialah GTP (guanosin

trifosfat). Pada

B. subtilis penurunan kumpulan GTP pada sel yang sedang tumbuh,


cukup untuk memulai sporulasi. Seluruh kondisi penurunan nutrisi yang diketahui

dapat memulai sporulasi dan menyebabkan penurunan GTP pada waktu sporulasi

dimulai. Dua tipe pengurangan nutrisi yang mampu menurunkan GTP di bawah

kondisi nutrien terbatas : 1). Penurunan prekursor purin, P-ribosil-PP , disebabkan

terbatasnya suplai karbon, dan 2). Respon kuat terhadap pengurangan asam amino,

58

yang dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi nukleotida guanin terfosforilasi

tinggi, ppGpp dan pppGpp.



3. Germinasi dan Pertumbuhan



Perubahan fisiologis dan struktural secara simultan terjadi selama

transformasi spora dorman menjadi sel vegetatif. Proses germinasi spora terdiri

dari tiga tahap fase : 1). Tahap aktivasi dimana kondisi lingkungan layak

menyebabkan spora bergerminasi,

2). Tahap germinasi, selama terjadi hilangnya komponen khusus spora dorman, dan

3). Tahap pertumbuhan dimana spora dikonversi menjadi sel vegetatif baru.

Aktivasi merupakan proses reversibel yang penting dalam germinasi spora.

Spora tidak bergerminasi atau bergerminasi sangat lambat paling sedikit

diaktifkan oleh panas atau pemberian berbagai senyawa kimia. Aktivasi dapat

melibatkan proses denaturasi makromolekul spesifik secara reversibel. Germinasi

merupakan proses irreversibel pada spora yang diaktifkan dan dipicu oleh

paparan faktor nutrien dan non-nutrien secara simultan. Germinan nutrien utama

yaitu L-Alanin, selain itu beberapa asam amino, nukleosida dan glukosa.

Germinasi merupakan proses berakhirnya tahap dorman. Selama tahap awal

germinasi refraktilitas hilang dan terjadi pembengkakan korteks dan muncul fibril

nukleus. Proses tersebut diikuti oleh hilangnya resistensi terhadap kerusakan

akibat faktor fisik dan bahan kimia, terjadi peningkatan sulfidril spora, pelepasan

komponen spora, dan peningkatan aktivitas metabolik. Germinasi spora tidak

dihambat oleh antibiotik yang merusak sintesis protein dan asam nukleat, hal

ini ditandai dengan adanya enzim untuk germinasi dalam spora.

Selama pertumbuhan terjadi sintesis protein dan komponen struktur

khusus pada sel vegetatif. Selama tahap ini membran inti spora berkembang

menjadi dinding sel vegetatif. Pertumbuhan merupakan periode aktivitas

biosintetik aktif dan secara nyata dihambat oleh gangguan suplai energi dan

antibiotik yang merusak sintesis dinding sel, protein dan asam nukleat.

59

Gambar 4.2 Tahap perubahan morfologi dan biokimia yang berhubungan dengan

sporulasi pada

Bacillus subtilis. Proses tersebut dihitung dari akhir pertumbuhan


eksponensial pada to ketika setiap sel vegetatif mengandung dua kromosom, dan

pada periode beberapa saat sesudahnya. (Sumber : Brock and Madigan,1991)



F. PENGENDALIAN PERTUMBUHAN BAKTERI



Pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lainnya dapat dipelajari dengan

mengendalikan pertumbuhannya. Tujuan pengendalian adalah untuk menghambat

pertumbuhan bakteri dan mencegah kontaminasi bakteri yang tidak dikehendaki

kehadirannya dalam suatu media. Cara mencegah pertumbuhan mikroorganisme

tersebut secara umum terdapat dua prinsip, yaitu: 1) dengan membunuh

mikroorganisme, 2) menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

60

Pengendalian mikroorganisme, khususnya bakteri dapat dilakukan baik

secara kimia maupun fisik, yang keduanya bertutujuan menghambat atau membunuh

mikroorganisme yang tidak dikehendaki.



1. Pengendalian Mikroorganisme Secara Kimia



Banyak zat-zat kimia yang dewasa ini digunakan untuk membunuh atau

mengurangi jumlah mikroorganisme, terutama mikroorganisme patogen.

Pengendalian secara kimia umumnya lebih efektif digunakan pada sel vegetatif

bakteri, virus dan fungi, tetapi kurang efektif untuk menghancurkan bakteri dalam

bentuk endospora. Oleh karena tidak ada bahan kimia yang ideal atau dapat

digunakan untuk segala macam keperluan, maka diperlukan beberapa hal dalam

memilih dan menggunakan senyawa kimia untuk tujuan tertentu, yaitu :

a. Aktivitas antimikroba, yaitu memiliki kemampuan untuk mematikan

mikroorganisme, dalam konsentrasi yang rendah pada spektrum yang luas,

artinya dapat membunuh berbagai macam mikroorganisme.

b. Kelarutan, artinya senyawa ini bisa larut dalam air atau pelarut lain, sampai

pada taraf yang diperlukan secara efektif.

c. Stabilitas, artinya memiliki stabilitas yang tinggi bila dibiarkan dalam waktu

yang relatif lama dan tidak boleh kehilangan sifat antimikrobanya.

d. Tidak bersifat toksik bagi manusia maupun hewan lain, artinya senyawa ini

bersifat letal bagi mikroorganisme dan tidak berbahaya bagi manusia

maupun hewan lain.

e. Homogenitas, komposisinya harus selalu sama, sehingga bahan aktifnya

terdapat pada setiap aplikasi.

f. Ketersediaan dan biaya, senyawa itu harus tersedia dalam jumlah besar

dengan harga yang pantas.

g. Sifat bahan harus serasi , yaitu zat kimia yang digunakan untuk disinfeksi

alat-alat yang terkontaminasi tidak baik digunakan untuk kulit karena dapat

merusak sel kulit.

h. Tipe mikroorganisme, artinya tidak semua mikroorganisme rentan terhadap

mikrobiostatik atau mikrobiosida, oleh karena itu harus dipilih tipe

mikroorganisme yang akan dibasmi.

61

i. Keadaan lingkungan, artinya bahan yang digunakan harus aman bagi

lingkungan sekitar, dan tidak memiliki efek samping.



1). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Kerja Antimikroba



Berbeda atau kebalikan dari bahan kemoterapeutik yang memperlihatkan

suatu derajat selektivitas tinggi untuk spesies bakteri tertentu., desinfektan bersifat

sangat toksik untuk semua tipe sel. Keefektifan bahan tertentu ditentukan oleh

kondisi yang sangat luas, dimana digunakannya bahan tersebut.



Konsentrasi Bahan.


Beberapa bahan bersifat mematikan untuk bakteri, ketika


digunakan hanya pada konsentrasi yang sangat tinggi. Bahan lain, pada konsentrasi

sangat rendah dapat menstimulasi, memperlambat, bahkan membunuh organisme.

Konsentrasi dibutuhkan untuk memberi pengaruh, juga rentang konsentrasi berbeda

berdasarkan desinfektan, organisme, dan metode pengujian. Suatu hubungan yang

sangat erat terdapat diantara konsentrasi, obat yang digunakan dan waktu yang

dibutuhkan untuk membunuh suatu bagian populasi. Hubungan ini dapat

digambarkan sebagai berikut :

C nt = K


Dimana

C adalah konsentrasi obat, t adalah waktu yang dibutuhkan untuk


membunuh suatu bagian sel, dan

n dan K merupakan konstanta. Pada senyawa


fenolik, perubahan dalam konsentrasi disinfektan dapat menyatakan pengaruh pada

kecepatan desinfektan; sebagai contoh , pengurangan konsentrasi sekitar satu

setengah-kali dapat meningkatkan kebutuhan waktu untuk sterilisasi sekitar 64-kali

lipat. Pada sebagian besar disinfektan, pengaruh konsentrasi tersebut kurang

dramatik.



Waktu.


Pada saat bakteri dipapar oleh konsentrasi bahan bakterisida spesifik, tidak


semua bakteri dapat dibunh pada waktu yang sama; jarang terjadi pengurangan

jumlah sel hidup secara keseluruhan. Disinfeksi, biasanya suatu proses pembunuhan

bakteri dengan alasan panjangnya waktu yang digunakan.



pH.


Konsentrasi ion hidrogen mempengaruhi peranan bakterisida, dengan cara


mempengaruhi organisme dan bahan kimia dalam bakterisida tersebut. Pada saat

dicampurkan dalam suatu medium pertumbuhan dengan pH 7, bakteri akan

bermuatan negatif. Suatu peningkatan pH akan meningkatkan muatan dan dapat

merubah konsentrasi efektif bahan kimia pada permukaan sel. pH juga menentukan

62

derajat ionisasi senyawa kimia. Umumnya, bentuk nonanion dari suatu bahan yang

mampu berdisosiasi (cair) dapat melalui membran sel lebih cepat dibandingkan

dengan bentuk ionik inaktif.



Temperatur.


Pembunuhan bakteri oleh bahan kimia akan meningkat dengan suatu


peningkatan temperatur. Pada temperatur rendah, untuk setiap peningkatan 10

oC,


terjadi dua-kali kecepatan kematian. Pada beberapa bahan, seperti fenol, kecepatan

ditingkatkan dari lima sampai delapan kali, karena reaksi dianggap lebih kompleks

dan dipengaruhi faktor lain.



Sifat Organisme.


Kemampuan suatu bahan tertentu bergantung pada komponen


organisme yang diuji dengan bahan tersebut. Yang terpenting adalah spesies

mikroorganisme, fase pertumbuhan kultur, adanya struktur khusus, seperti spora

atau kapsul, sejarah kultur sebelumnya, dan jumlah organisme dalam sistem uji.



Usia Mikroorganisme.


Tingkat kerentanan mikroorganisme sangat ditentukan oleh


umur biakan mikroorganisme. Pada prinsipnya kerentanan mikroorganisme yang

tinggi yaitu pada fase pertumbuhan eksponensial. Sedangkan pada fase stasioner

dianggap kurang efektif karena metabolisme sel mikroba tidak terlalu aktif.



Bahan ekstra.


Terdapatnya bahan organik, seperti serum, darah, atau nanah,


mempengaruhi aktivitas beberapa disinfektan dan membuat senyawa yang sangat

aktif menjadi tidak berdaya atau pengaruhnya menjadi lambat. Bahan asing tersebut

merubah aktivitas disinfektan melalui beberapa cara: absorpsi permukaan disinfektan

tersebut oleh koloid protein, pembentukan senyawa kimia dengan aktivitas lambat

atau tidak berdaya, pengikatan disinfektan oleh grup aktif protein asing tersebut.

Disinfektan yang mengalami hambatan aktivitasnya secara besar-besaran , dikurangi

oleh bahan organik dengan kandungan protein tinggi seperti pewarna anilin, merkuri,

dan deterjen kationik. Merkuri tersebut dihambat oleh senyawa yang mengandung

grup sulfidril, dan senyawa amonium kuartener dihambat oleh sabun dan lemak.



2) Mekanisme Kerja Antimikroba



Mekanisme obat dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan

mikroorganisme bervariasi dan kompleks. Tahap-tahap atau perubahan secara

simultan sering terjadi dan membuatnya sulit untuk merubah efek primer dari efek

sekundernya. Umumnya semua efek bahan kimia yang dapat diamati pada bakteri,

63

menyebabkan perubahan pada komponen makromolekulnya. Beberapa perubahan ini

merusak membran sel, membuat inaktif protein secara irreversibel, dan menyebabkan

kerusakan asam nukleat.



a. Bahan Yang Merusak Membran sel.



Keutuhan struktur membran bergantung pada protein dan lipid yang

menyusunnya. Larutan organik dan deterjen merusak struktur tersebut, menyebabkan

gangguan fungsi pada membran yang normal. Pengaruhnya yang lain adalah

melepaskan metabolit kecil dari sel dan mengganggu transpor aktif dan metabolisme

energi.



Disinfektan Aktif-permukaan



Senyawa yang merubah hubungan timbal-balik energi pada ruang-antara

(

interfaces), mengurangi permukaaan atau tekanan ruang-antara, oleh karena itu


senyawa tersebut dinamakan bahan aktif-permukaan. Bahan aktif-permukaan

merupakan senyawa yang memiliki grup hidrofilik dan hidrofobik. Ruang-antara

antara membran yang mengandung-lipid pada sel bakteri dan medium berair

sekelilingnya, tersedia sebagai target yang rentan terhadap tipe bahan seperti ini.

Bagian molekul hidrofobik, bersifat larut dalam-lemak, hidrokarbon ratai-panjang,

sedangkan bagian hidrofilik yang dapat terionisasi atau suatu nonionik tetapi

merupakan struktur yang sangat polar. Yang termasuk bahan aktif-permukaan ialah

kationik, anionik, nonionik, dan senyawa amfoterik, seperti yang tercantum dalam

tabel 4-3. Dari tabel tersebut, senyawa anionik dan kationik banyak digunakan

sebagai bahan antibakteri.



Tabel 4-3 Bahan Aktif-permukaan

Nama Pabrik Tipe

Senyawa

Struktur



Zephiran

Triton K-12

Ceepryn chlorida

Duponol LS

Triton W-30

Carbowax 1500

Kationik

Kationik

Kationik

Anionik

Anionik

Nonionik

Alkildimetilbenzil amonium klorida

Setildimetilbenzil amonium klorida

Setilpiridinium klorida

Natrium oleil sulfat

Garam natrium dari alkilfenoksietil sulfonat

Ester asam oleat dari glikol polietilen



64



dioleate

Tween 80

Nonionik terpolimerisasi

Sorbitan monooleat polioksialkilen derifatif.



b. Bahan Kationik.

Senyawa Amonium kuarterner.


Yang terpenting dalam bahan aktif-permukaan


bakterisida ialah senyawa kationik yang memiliki residu hidrofobik diseimbangkan

dengan muatan positif grup hidrofilik, seperti inti amonium kuarterner. Ketika

bakteri dipapar oleh bahan tipe ini, grup yang beruatan positif akan berhubungan

dengan grup fosfat fosfolipid membran, sedangkan bagian nonpolar menembus ke

dalam interior hidrofobik membran. Menghasilkan penyimpangan yang

menyebabkan kehilangan semipermeabilitas membran dan kebocoran senyawa yang

mengandung-fosfor dan nitrogen. Bahan kationik itu sendiri dapat memasuki sel dan

mendenaturasi protein. Aktivitas terbaik senyawa amonium kuarterner ini pada pH

alkalin. Meskipun senyawa ini bersifat bakterisida untuk organisme secara luas,

spesies gram-positif lebih rentan. Aktivitas antibakteri dikurangi dengan adanya

bahan organik.



c. Bahan Anionik.



Diantara deterjen anionik terdapat sabun dan asam lemak yang terpisah untuk

menghasilkan ion muatan negatif. Bahan ini lebih aktif pada pH asam, aktif

menyerang bakteri Gram-positif tetapi relatif tidak efektif untuk spesies Gramnegatif

karena lipopolisakarida membran luarnya. Melalui penggabungan suatu

bahan anionik dengan asam, surfaktan asam-anionik sangat efektif sebagai

pembersih yang bersifat sinergistik dan memainkan peran bakterisida secara cepat

(dalam 30 detik).

Deterjen anionik menyebabkan kerusakan besar pada lipoprotein membran

sel. Kerusakan garam empedu secara primer, selama ini digunakan oleh ahli

mikrobiologi untuk menghancurkan

Pneumococcus, yang memecah membran sel,


menyebabkan enzim autolitik berperan pada substrat, yang dipotong dari sel utuh.

Ketika digunakan bersama, deterjen anionik dan kationik, saling menetralisir satu

sama lain.



d. Senyawa Fenolik.



65

Pada konsentrasi rendah, senyawa ini bersifat bakterisida secara cepat

menyebabkan kebocoran kandungan sel dan secara irreversibel meng-inaktifkan

oksidase dan hidrogenase-terikat membran. Senyawa fenolik induk (asam karbolat)

digunakan secara terbatas terutama untuk menguji bahan bakterisida baru.

Kresol merupakan alkil fenol sederhana. Orto-, meta-, dan parakresol

dianggap lebih aktif daripada fenol dan biasanya digunakan sebagai suatu campuran

(trikresol). Kresol, diperoleh secara industri melalui destilasi tar batubara,

diemulsifikasi dengan sabun hijau dan padat dengan nama pabrik Lisol dan Creolin.

Fenol dan kresol berbau khas dan bersifat korosis terhadap jaringan.

Walaupun demikian mereka tahan terhadap pemanasan dan pengeringan serta tidak

terpengaruh oleh bahan-bahan organik, tetapi kurang efektif terhadap spora.

Penambahan halogen seperti klorin akan meningkatkan aktivitas fenol. Fenol dan

kresol juga bersifat menghilangkan sakit (

pain killing). Oleh karena sangat toksik,


keduanya hanya dapat digunakan secara eksternal (bagian luar tubuh).



e. Senyawa Difenil



Senyawa difenil terhalogenasi memperlihatkan komponen antibakteri yang

unik. Dari senyawa ini, yang terpenting adalah heksaklorofen merupakan derivat

fenol. Heksaklorofen sangat efektif menyerang bakteri Gram-positif, khususnya



Streptococcus


dan Staphylococcus. Heksaklorofen, merupakan bakterisida jika


digunakan pada konsentrasi yang cukup tinggi, tidak seperti beberapa disinfektan,

tetap memiliki kemampuan antimikroba ketika dicampurkan dengan sabun atau

ditambahkan kepada berbagai bahan kosmetik. Digunakan pada berbagai produk,

seperti sabun germisida dan antikeringat. Penyerapannya melalui kulit dapat

menyebabkan neurotoksisitas, khususnya pada bayi, sekarang penggunaannya secara

luas dihentikan.



f. Alkohol



Alkohol memberikan pengertian mengenai interaksi pelarut organik dengan

membran lipid. Alkohol memecah struktur lipid melalui penembusan ke dalam

daerah hidrokarbon. Sebagai tambahan, pengaruhnya pada membran, alkohol dan

66

pelarut organik lain dapat mendenaturasi protein seluler. Oleh karena itu membran

sel akan rusak dan enzim-enzim mengalami inaktivasi.

Ada tiga jenis alkohol yang digunakan, yaitu: metanol [CH

3OH], etanol


[CH

3CH2OH] dan isopropanol [(CH3)2CHOH]. Menurut ketentuan, semakin tinggi


berat molekulnya, semakin meningkat pula daya bakterisidanya. Alkohol alifatik,

khususnya etanol sudah digunakan secara luas sebagai disinfektan kulit karena

kemampuan bakterisida dan kemampuannya menghilangkan lemak dari permukaan

kulit. Perannya sebagai disinfektan, secara luas dihambat karena ketidakmampuan

etanol untuk membunuh spora pada suhu normal; karena alasan tersebut etanol

selayaknya tidak digunakan untuk sterilisasi alat-alat. Etanol, aktif menyerang

bakteri Gram-positif, Gram-negatif, dan “acid-fast”, dan lebih efektif pada

konsentrasi 50%-70%.

Aktivitas bakterisida isopropil alkohol lebih besar dibandingkan dengan

etanol, dan kurang mudah menguap. Karena alasan tersebut, direkomendasikan

sebagai pengganti etanol untuk sterilisasi termometer. Narkosis dapat disebabkan

penyerapan uap isopropil alkohol melalui paru-paru selama menggunakan busa

alkohol.

Konsentraasi alkohol yang dipergunakan dalam praktek adalah alkohol 70-

80% dalam air. Konsentrasi di atas 90% atau di bawah 50% biasanya kurang efektif

kecuali untuk isopropil alkohol yang masih tetap efektif sampai konsentrasi 99%.

Waktu 10 menit sudah cukup untuk membunuh sel vegetatif, tetapi tidak untuk

spora.

Sendiri atau dalam bentuk kombinasi, alkohol sering dipakai sebagai

disinfektan kulit. Suatu hapusan dengan alkohol secara cepat, tidak cukup

mensterilkan, tetapi hanya mengurangi jumlah populasi dan dengan demikian juga

mengurangi timbulnya infeksi. Telah menjadi kebiasaan kita dalam praktek untuk

mencelupkan alat-alat seperti gunting, pisau, pinset dan sebagainya ke dalam alkohol

dan kemudian membakarnya. Keefektifan cara ini masih dipertanyakan dan

hendaknya jangan dipakai untuk mengganti cara-cara sterilisasi yang lebih baik.



g. Bahan Yang Merubah Grup Fungsional Pada Protein Dan Asam Nukleat



67

Tempat katalitik suatu enzim mengandung grup fungsional spesifik yang

mengikat substrat dan memulai peristiwa katalitik. Penghambatan aktivitas enzim

terjadi, jika satu atau lebih grup fungsional ini dirubah atau dirusak. Grup fungsional

penting pada membran, dinding sel, dan asam nukleat juga rentan terhadap

inaktivasi.

Senyawa yang mengandung merkuri atau arsenik yang digabungkan dengan

grup sulfidril; formaldehid, deterjen anionik, dan pewarna asam bereaksi dengan

grup imidazol dan amino; pewarna basa, senyawa amonium kuarterner, dan deterjen

kationik bereaksi dengan grup yang bersifat asam, seperti residu asam fosforst atau

hidroksil. Adanya bahan organik atau bahan lain yang mengandung grup reaktif

bebas menandai penurunan efektivitas bahan, yang toksisitasnya dihasilkan dari

penggabungannya dengan grup reaktif komponen sel.



1). Logam-logam berat



Logam berat berperan sebagai antimikroba, karena dapat mempresipitasikan

enzim-enzin atau protein esensial lain dalam sel. Logam-logam berat yang

digunakansecara umum adalah Hg, Ag, As, Zn dan Cu. Daya antimikrobanya biasa

disebut sebagai daya oligodinamik.



Hg


: HgCl2 pernah merupakan desinfektan yang populer, tapi kini sudah


dianggap usang dan tidak bermanfaat oleh karena dapat diinaktifkan oleh bahan

organik. Senyawa Hg organik efektif untuk mengobati luka-luka kecil (ringan) dan

sebagai preservatif di dalam serum dan vaksin.



Ag


; Pada konsentrasi 1%, AgNO3 biasa digunakan untuk mencegah


kemungkinan terjadinya infeksi gonokokus pada mata bayi yang baru lahir. Selama

beberapa tahun, penggunaan AgNO

3 telah diganti dengan penisilin, tetapi


meningkatnya resistensi kuman-kuman tersebut terhadap penisilin, kini telah dipakai

kembali.



As


; Arsen pernah terkenal sebagai obat pertama untuk sifilis dan kini masih


dipergunakan dalam pengobatan infeksi oleh protozoa.



Zn


; Dalam bentuk pasta, dipakai untuk mengobati infeksi karena kuman


atau jamur.



2). Bahan Pengoksidasi



68

Bahan antimikroba yang sering digunakan dari grup ini ialah halogen dan

hidrogen peroksida. Bahan ini meng-inaktifkan enzim dengan merubah grup –SH

fungsional, mejadi bentuk S-S teroksidasi. Bahan terkuat juga menempel pada grup

amino, grup indol, dan grup hidroksil fenolik dari tirosin.



a). Hidrogen Peroksida



Hidrogen peroksida (H

2O2) merupakan antiseptik yang efektif dan nontoksik.


Molekulnya tidak stabil dan apabila dipanaskan akan terurai menjadi air dan oksigen

: 2 H

2O2 2 H2O + O2


Dengan adanya ion-ion logam yang umumnya terdapat di dalam sitoplasma

sel, maka selama pembentukan oksigen, dibentuk pula radikal superoksida (O

2


-


) yang


akan bereaksi dengan grup bermuatan negatif dalam protein dan selanjutnya akan

menginaktifkan sistem enzim yang vital. Pada konsentrasi 0,3-6,0%, H

2O2 dipakai


untuk disinfeksi dan pada konsentrasi 6,0-25,0% dipakai untuk sterilisasi. Pada

konsentrasi 0,1% di dalam susu pada suhu 54

oC selama 30 menit, H2O2 dapat


mengurangi jumlah kuman sampai 99,99%.

Terdapat bukti bahwa H

2O2 10% bersifat virusid dan sporosid. Pasta Na2O2


dipakai untuk mengobati acne sedangkan ZnO

2 untuk mengobati infeksi kulit yang


disebabkan kuman-kuman anaerob dan mikroaerofilik.

Larutan 3% hidrogen peroksida biasa dipakai untuk mencuci dan

mendisinfeksi luka karena kuman-kuman terutama anaerob yang peka terhadap

oksigen. Pada saat hidrogen peroksida digunakan terhadap jaringan, oksigen secara

cepat dilepaskan oleh katalase jaringan, dan peran germisida diperpendek. Meskipun

peran antibakterinya ditentukan oleh kemampuan pengoksidasinya, hal tersebut

memungkinkan bahwa pembentukan radikal hidroksil bebas (

-OH) lebih toksik


daripada peroksida dalam suatu reaksi tergantung-besi terhitung untuk sebagian

besar aktivitas tersebut.

Pada tingkat nonletal rendah di bawah keadaan aerobik, hidrogen peroksida

secara langsung merobek DNA, menyebabkan kerusakan yang diperbaiki melalui

jalur perbaikan inisiasi dan membutuhkan DNA polimerase I. Sebagai suatu

disinfektan benda mati, hidrogen peroksida sering digunakan dan merupakan bahan

yang efektif. Penggunaannya meningkat untuk disinfeksi alat-alat bedah dan lensa

kontak plastik yang lembut.

69



b). Halogen.



Halogen meliputi senyawa-senyawa klorin dan Iodin, baik yang organik

maupun yang anorganik. Kebanyakan senyawa halogen membunuh sel hidup.

Membunuh sel dengan cara mengoksidasi protein, dengan demikian merusak

membran dan menginaktifkan enzim-enzim. Iodin biasa digunakan untuk disinfektan

kulit, sedangkan klorin untuk disinfektan air.



c). Iodin.


Iodin berada dalam bentuk I2 pada nilai pH. di bawah 6, sifat tersebut


merupakan peran bakterisida maksimum. Kecepatan pembunuhan akan menurun jika

pH. ditingkatkan melebihi 7,5. Ion iodida, I-, dibentuk akibat hidrolisis iodin dalam

larutan berair, yang tidak memiliki efek bakterisida secara signifikan; ion triiodida,

I

3


-


, juga terdapat dalam larutan berair, yang memiliki aktivitas minimum. Tinktur


iodin (USP XX) mengandung 2% iodin dan 2,4% natrium iodida dalam alkohol

berair (1:1). Campuran iodin dengan berbagai bahan aktif-permukaan yang berperan

sebagai carrier untuk iodin, dikenal sebagai iodofor. Carrier tersebut merupakan

polimer netral yang tersedia tidak hanya untuk meningkatkan kelarutan iodin, tapi

juga menyediakan suatu sumber pelepasan halogen tertahan. Iodofor terbaik yang

dikenal dan merupakan senyawa pilihan ialah iodin-providon (Betadin), suatu

senyawa polimer 1-vinil-2-pirolidinon dengan iodin, dengan iodin yang tersedia

tidak kurang dari 9% dan tidak lebih dari 12%. Pada obat untuk manusia, iodofor

diganti dengan larutan iodin tinktur dan berair dianggap memeliki efek samping yang

sangat kecil.



d). Klorin.


Sebagai tambahan terhadap klorin itu sendiri, terdapat tiga tipe senyawa


klorin—hipoklorit, kloramin organik dan anorganik. Peran disinfektan semua

senyawa klorin melalui pembebasan klorin bebas. Ketika elemen klorin atau

hipoklorit ditambahkan ke dalam air, klorin bereaksi dengan air untuk membentuk

asam hipoklor, yang dalam larutan netral atau bersifat asam merupakan bahan

pengoksidasi kuat dan suatu disinfektan efektif.

Cl

2 + H2O HOCl + H+ + Cl-


Ca(OCl)

2 + H2O Ca2


+


+ H2O + 2 OCl-


Ca(OCl)

2 + 2 H2O Ca(OH) 2 + 2 HOCl


HOCl

H+ + OCl70


Disosiasi asam hipoklor tersebut bergantung pada pH, yang menentukan

efisiensi disinfeksi. Aktivitas klorin dipengaruhi oleh adanya bahan organik. Oleh

karena itu, pada disinfeksi air, untuk mengimbangi beberapa bahan yang dapat

bergabung dengan klorin, dalam hal ini perlu untuk menentukan kebutuhan klorin.

Biasanya menambahkan klorin dengan jumlah yang cukup terhadap persediaan air,

untuk memenuhi kebutuhan klorin air tersebut, pada waktu yang sama, untuk

menyediakan residu yang cukup untuk disinfeksi sempeurna. Pada kasus air kolam

renang, suatu spektrum organisme yang luas secara tetap diperkenalkan, dan waktu

kontak dengan klorin menjadi sangat pendek. Konsentrasi residu klorin bebas

sebanyak 0,6 – 1,0 ppm harus dipelihara untuk menjamin pembunuhan dengan cepat

(15 – 30 detik). Klorin dan senyawa terklorinasi juga disarankan untuk sanitasi

pemandian air panas dan bak mandi air panas. Untuk menjamin kebutuhan klorin air

yang banyak dan untuk menyediakan suatu residu klorin yang dipercaya dapat

memenuhi keamanan air, harus tetap dipelihara tersedianya tingkat klorin bebas pada

1-3 ppm.

Hipoklorit merupakan senyawa klorin yang sering digunakan dan tersedia

dalam bentuk cairan dan serbuk, sebagai garam kalsium, garam litium, dan garam

natrium. Hipoklorit secara luas digunakan pada makanan dan industri perusahaan

untuk sanitasi perusahaan dan alat-alat pengolah makanan. Juga sering digunakan

sebagai alat sanitasi pada sebagaian besar rumah tangga, rumah sakit, dan bangunan

umum dengan nama pasar yang terkenal bertanda Clorox dan pemutih Purex.



h. Zat Pewarna



Beberapa pewarna tar-batubara, khususnya trifenilmetan dan akridin, tidak

hanya mewarnai bakteri tetapi juga bersifat menghambat pada pengenceran yang

sangat tinggi.Dalam rentang pH yang umum, pewarna bersifat basa sangat efektif.

Pewarna tersebut memperlihatkan suatu nilai afinitas untuk gruip fosfat bersifat

asam dari nukleoprotein dan komponen sel lainnya, dan pewarna tersebut

diinaktifkan oleh serum dan protein lain. Pemakaiannya dalam dunia kesehatan

dibatasi terutama untuk perlakuan terhadap lesi dermatologik.



i. Bahan Pengalkilasi



71

Efek mematikan formaldehid (formalin), etilenoksida, dan glutaraldehida

disebabkan peran alkilasinya pada protein.Penghambatan dari bahan tersebut

bersifat irreversibel, menyebabkan modifikasi enzim dan hambatan aktivitas

enzim.



Formaldehida



Grup karboksil, hidroksil, atau sulfidril dialkilasi dengan cara penggantian atom

hidrogen secara langsung dengan grup hidroksimetil. Reaksi grup sulfidril pada

protein enzim, sebagai berikut:

H H

E—SH + H— C =O

E—S—C--OH


H

Formalin merupakan larutan encer yang mengandung 37% formaldehid, tersedia

secara komersial.Jika digunakan pada konsentrasi tinggi, dapat merusak semua

mikroorganisme termasuk spora. Formalin digunakan secara luas dalam

menginaktifkan virus pada persiapan pembuatan vaksin, karena efeknya kecil

terhadap komponen antigeniknya. Umumnya digunakan formalin 0,2-0,4%. Dalam

bentuk gas formaldehid sudah digunakan untuk dekontaminasi ruangan, bangunan,

pabrik dan alat-alat.



Glutaradehida



Dalam beberapa tahun terakhir, glutaraldehida, dialdehida 5-karrbon jenuh banyak

digunakan sebagai sterilan dingin untuk alat-alat bedah, juga untuk perlengkapan

endoskopi dan terapi saluran pernafasan. Sebagai bakterisida dan sporisida

glutaraldehida 10 kali lebih efektif dari formaldehida dan dianggap kurang toksik.

Efektivitas bakterisidanya tidak berkurang dengan adanya bahan yang mengandung

protein.



Etilen Oksida



Etilen Oksida digunakan secara luas dalam sterilisasi dengan gas. Bahan tersebut

aktif merusak semua tipe bakteri termasuk sporanya dan basil tuberkel, tetapi

kerjanya lambat. Bahan ini sering digunakan untuk sterilisasi bahan-bahan yang

72

dapat rusak karena panas seperti tabung polietilen, alat-alat kedokteran, biologik,

elektronik dan obat-obatan.



j. Bahan Yang Mendenaturasi Protein



Pada tempat asalnya, setiap protein memiliki suatu konformasi karakteristik

yang dibutuhkan untuk ketepatan fungsinya. Bahan yang merubah konformasi

protein melalui denaturasi menyebabkan pembentangan rantai polipeptida sehingga

rantai menjadi melilit atau melengkung secara acak dan tidak teratur. Diantara bahan

kimia yang dapat mendenaturasi protein seluler ialah asam, alkali, alkohol, aseton,

dan pelarut organik lain. Pelarut organik, sudah dibahas pada bagian terdahulu, yaitu

mengenai target utamanya terhadap membran sel.



1). Asam dan alkali.



Dalam melaksanakan aktivitas antibakterinya, asam dan alkali menggunakan

ion OH

- dan H+ bebas, melalui pennggabungan molekul, atau merubah pH


lingkungan organisme. Asam mineral kuat dan alkali kuat memiliki komponen

disinfektan yang sebanding untuk memperluas pemecahannya (disosiasi) dalam

larutan. Beberapa hidroksida, menunjukkan derajat disosiasi lebih efektif,

diperkirakan bahwa kation metalik menggunakan suatu peran toksik secara langsung

pada organisme.

Molekul asam organik secara utuh, mampu melaksanakan aktivitas

antibakteri. Meskipun tingkat disosiasinya lebih rendah dibandingkan dengan asam

mineral, kadang-kadang molekul asam organik dapat bersifat disinfektan poten.

Asam benzoat, secara luas digunakan untuk pengawetan makanan, keefektifannya

hampir tujuh kali dibanding asam hidroklorat, yang memperlihatkan bahwa seluruh

molekul dan radikal organiknya memiliki aktivitas disinfektan. Asam organik lain

yang secara luas digunakan sebagai pengawet makanan untuk memperpanjang

penyimpanan produk makanan ialah asam propionat, asam sitrat, asam asetat dan

asam laktat.



2). Aldehida.



Aldehida, membunuh sel dengan mendenaturasi protein. Larutan

formaldehid 20% dalam 65-70% alkohol merupakan cairan yang sangat baik untuk

73

sterilisasi alat-alat, dengan perendaman selama 18 jam. Tetapi karena meninggalkan

residu, maka alat-alat tersebut harus dibilas terlebih dahulu sebelum dipakai.

Glutaraldehid merupakan larutan seefektif formaldehid, terutama apabila pH

nya 7,5 atau lebih.

Staphylococcus dan sel vegetatif lain akan mati dalam waktu 5


menit,

M. tuberculosis dan virus dalam waktu 10 menit sedangkan untuk membunuh


spora diperlukan 3-12 jam. Larutan ini bersifat nontoksik dan tidak iritatif bagi

penderita.



3). Evaluasi Aktivitas Bahan Kimia Germisida



Untuk mengetahui kekuatan suatu bahan kimia harus dibandingkan dengan

bahan kimia standar yang telah diketahui kekuatannya, misalnya disinfektan fenol.

Ada beberapa cara untuk membandingkannya, tetapi salah satu cara yang paling baik

ialah dengan pengujian koefisien fenol.

Koefisien fenol merupakan nilai perbandingan efektivitas antara suatu

germisida yang diuji dengan efektivitas fenol terhadap mikroorganisme uji yang

sama. Misalnya, suatu germisida dapat mematikan populasi standar

Staphylococcus


aureus


dengan pengenceran 1 : 250, sedang fenol dapat mematikan populasi standar


yang sama dengan pengenceran 1 : 60, maka nilai koefisien fenol germisida yang

diuji ialah 250/60 (= 4,2). Nilai koefisien fenol ini berarti bahwa germisida yang

diuji tersebut lebih efektif 4,2 kali dari pada fenol dalam mematikan

S. aureus secara


in vitro.



2. Pengendalian Mikroorganisme Secara Fisik



Sebagian besar bakteri patogen memiliki keterbatasan toleransi terhadap

berbagai kekuatan lingkungan fisiknya.dan memiliki sedikit kemampuan untuk

bertahan hidup di luar tubuh inang. Bakteri lain dapat membentuk spora yang sangat

resisten terhadap keadaan fisik lingkungan dan membantu mikroorganisme melalui

peningkatan nilai pertahanan hidup.

Pada prinsipnya mikroorganisme dapat dikendalikan, yaitu dengan cara

dibasmi, dihambat pertumbuhannya dalam lingkungan, dengan menggunakan

berbagai proses atau sarana fisik. Proses atau sarana yang digunakan bergantung

pada banyak faktor dan hanya dapat ditentukan setelah diadakan evaluasi terhadap

keadaan khusus tersebut. Misalnya, untuk membasmi mikroorganisme penyebab

74

infeksi pada hewan sakit yang mati, cara yang memungkinkan adalah membakar

hewan tersebut,. Tetapi, bila kita perlu mensterilkan kantung plastik yang akan

digunakan untuk menampung darah, maka kita harus memilih suatu proses sterilisasi

yang tidak akan merusak kantung plastik tersebut. Penelitian serta pengalaman dapat

memberikan pengarahan untuk memilih metode yang paling sesuai.



1). Panas



Panas sangat dipercaya dan secara umum merupakan metode yang digunakan

dalam sterilisasi, bilamana memungkinkan, harus menjadi metode pilihan. Sebagai

tipe lain disinfeksi, sterilisasi suatu populasi bakteri dengan panas merupakan proses

yang umum, dan kinetik kematian populasi tersebut adalah eksponensial. Yang

pertamakali harus diperhatikan dalam inaktivasi dengan menggunakan panas adalah

suatu bagian konstanta organisme yang mengalami perubahan senyawa kimia dalam

setiap unit waktu dan salah satu dari perubahan tersebut, cukup untuk

menginaktifkan suatu organisme.

Waktu yang dibutuhkan untuk sterilisasi umumnya berhubungan dengan

temperatur paparan. Hubungan ini dapat menggambarkan apa yang disebut waktu

kematian

termal (thermal death time), yang berkenaan dengan waktu minimal yang


dibutuhkan untuk membunuh suatu suspensi mikroorganisme pada temperatur yang

ditetapkan sebelumnya dalam lingkungan khusus. Karena koefisien temperatur tinggi

dilibatkan dalam sterilisasi panas, suatu perubahan temperatur minimum secara

signifikan merubah waktu kematian termal. Sesuai dengan hukum aksi massa, waktu

sterilisasi secara langsung berhubungan dengan jumlah mikroorganisme dalam

suspensi.



Mekanisme Kerusakan Oleh Panas.


Inaktivasi bakteri oleh panas tidak dapat


digambarkan dalam peristiwa biokimia sederhana. Meskipun efek letal panas lembab

suatu temperatur tertentu biasanya dihubungkan dengan denaturasi dan koagulasi

protein, pola kerusakan oleh panas tersebut cukup kompleks, dan secara tidak

diragukan koagulasi menyembunyikan suatu perubahan kecil yang menginduksi sel

sebelum koagulasi menjadi nyata.

Peristiwa yang mematikan terutama produksi rantai-tunggal (terlepasnya

rantai) DNA. Hilangnya viabilitas (kelangsungan hidup) sel oleh panas sedang, dapat

75

dihubungkan dengan pelepasan rantai DNA tersebut. Kerusakan DNA terlihat

bersifat enzimatik, sebagai akibat dari aktivasi nuklease. Kemampuan sel untuk

memperbaiki kerusakan dan memperoleh viabilitasnya bergantung pada tempat

fisiologik dan susunan genetik organisme.

Panas juga dapat menghilangkan kekuatan fungsional membran,

membocorkan molekul kecil dan 260 nm pengabsorbsi materi. Materi tersebut

berasal dari degradasi ribosom oleh ribonuklease yang teraktivasi karena perlakuan

panas. Dari keadaan tersebut, dapat dilihat adanya hubungan antara degradasi RNA

ribosomal dengan hilangnya viabilitas sel karena temperatur tinggi.

Mekanisme kerusakan mikroorganisme oleh panas kering berbeda dengan

kerusakan oleh panas lembab. Efek letal panas kering, atau desikasi (pengawetan

melalui pengeringan) secara umum, biasanya karena denaturasi protein, kerusakan

oksidatif, dan efek toksik dari meningkatnya elektrolit. Dalam keadaan tidak ada air,

terjadi pengurangan sejumlah grup polar pada rantai peptida, dan banyak energi

dibutuhkan untuk melepaskan molekul tersebut.



a). Panas Lembab



Peralatan dan bahan mikrobiologis dapat disterilkan dengan panas kering

menggunakan oven atau dengan panas lembab yang dilengkapi dengan uap (Tabel 4-

4). Diantara dua metode tersebut, panas lembab lebih disukai, karena lebih cepat

membunuh mikroorganisme. Panas lembab pada temperatur 60

oC selama 30 menit,


cukup untuk sterilisasi sebagian besar bakteri mesofilik yang tidak membentukspora.

Dengan perkecualian yaitu

S. aureus dan Enterococcus faecalis, yang


membutuhkan waktu paparan 60 menit pada temperatur 60

oC. Paparan dengan waktu


5-10 menit pada temperatur 80

oC, dapat menghancurkan bentuk vegetatif semua


bakteri, ragi, dan fungi. Diantara sebagian besar sel tahan-panas , ialah spora



Clostridium botulinum


, bakteri anaerobik yang menyebabkan keracunan makanan.


Spora bakteri ini dirusak pada temperatur 120

oC selama 4 menit, jika digunakan


temperatur 100

oC, membutuhkan waktu selama 5,5 jam.


Dua istilah digunakan untuk menyatakan resistensi bakteri terhadap panas

yaitu : waktu kematian termal (“

thermal death time”) dan waktu pengurangan


desimal (“

decimal reduction time”). Waktu kematian termal mengacu pada periode


waktu terpendek yang dibutuhkan untuk mematikan suatu suspensi bakteri ( atau

76

spora ) pada suatu keadaan dan suhu tertentu. Waktu pengurangan desimal mengacu

pada pengurangan khusus dalam hal jumlah sel hidup yaitu, lamanya waktu dalam

menit untuk mengurangi populasi sebesar 90%. Dengan perkataan lain, waktu

dalam menit yang dibutuhkan oleh kurva waktu kematian termal, untuk mengalami

satu pengurangan logaritmik (pengurangan populasi mikrobe sebesar 90%).



Tabel 4-4 Waktu minimal yang dibutuhkan untuk sterilisasi dengan panas

lembab dan panas kering pada temperatur tertentu



Temperatur

Panas lembab Panas Kering

Waktu

(menit)

Tekanan

(lb)

Waktu (menit)

121

oC


126

oC


134

oC


140

oC


150

oC


160

oC


170

oC


15

10

3

-

-

-

-

15

20

30

-

-

-

-

-

-

-

180

150

120

60

Penggunaan panas lembab untuk merusak bakteri dapat dilakukan dengan

beberapa cara : pendidihan, uap bebas, dan uap dengan tekanan. Dari ketiga cara

tersebut, uap dengan tekanan, paling efisien karena membuat temperatur di atas

mampu mendidihkan titik air. Temperatur tersebut dibutuhkan untuk menghancurkan

spora bakteri yang sangat tahan-panas.

Sterilisasi uap digunakan dalam suatu ruangan bertekanan yang disebut

autoklaf. Dasar tipe sterilisasi ini yang terpenting adalah seluruh bahan yang akan

disterilkan harus kontak dengan uap jenuh pada temperatur yang dibutuhkan untuk

waktu tertentu. Untuk mensterilkan benda atau bahan yang kecil, digunakan

temperatur 121

oC dengan waktu 20 menit (15 pon tekanan uap per inci2) atau 15lb/in
2 (5 kg/cm2), suhu, waktu dan tekanan tersebut disediakan sebagai batas

keamanan.



Tindalisasi.


Untuk mensterilkan cairan tertentu atau bahan semi-padat (“semisolid”)


yang mudah rusak oleh panas, digunakan metode pemisahan sterilisasi. Proses ini

sering disebut

tindalisasi, terdiri dari pemanasan bahan pada temperatur 80oC atau 100



 selama 30 menit, dalam tiga hari berturut-turut. Tipe sterilisasi bertingkat ini


dilakukan dengan alasan bahwa sel vegetatif dan beberapa spora dibunuh selama

pemanasan pertama dan spora yang sangat resisten secara bertahap mengalami

germinasi dan dibunuh selama pemanasan kedua dan ketiga. Metode tersebut sering

digunakan untuk sterilisasi medium biakan sensitif-panas yang mengandung bahanbahan

seperti karbohidrat, telur, dan serum.



Pasteurisasi.


Seperti disebutkan di atas, sebagian besar bakteri vegetatif dapat

terbunuh dengan temperatur 60


oC - 65oC dalam waktu yang relatif pendek.


Penggunaan temperatur pada rentang tersebut sangat penting dalam pasteurisasi susu

dan persiapan vaksin bakterial. Meskipun pada awal ditemukannya oleh Pasteur,

memiliki arti penghancuran mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan minuman

anggur (wine) dan bir, sekarang pasteurisasi digunakan untuk membuat makanan dan

keamanan minuman untuk konsumsi. Penggunaan perlakukan tersebut untuk

pasteurisasi susu yang terdiri dari pemanasan pada temperatur 62

oC selama 30 menit,


dilanjutkan dengan pendinginan secara cepat. Temperatur tersebut tidak mensterilkan

susu, tetapi membunuh semua bakteri penyebab-penyakit yang sering ditularkan

melalui susu.

Pemanasan susu pada temperatur yang terlampau tinggi dihindari, karena

menghasilkan cita rasa yang kurang sedap.

Mycobacterium tuberculosis, selama


bertahun-tahun diduga sebagai patogen yang paling tahan-panas, dan terbawa dalam

susu mentah. Dengan alasan tersebut maka pasteurisasi susu dilakukan dengan

temperatur 61,7

oC selama 30 menit; M. tuberculosis terbunuh pada temperatur 60oC


dalam waktu 15 menit. Namun, kemudian ditemukan bahwa suatu riketsia yaitu



Coxiella burnetii


, penyebab demam Q, terdapat juga dalam susu serta bersifat lebih


tahan-panas daripada

M. tuberculosis. Akibatnya, temperatur untuk pasteurisasi susu


dinaikkan menjadi 62,8

oC selama 30 menit.


78



Air mendidih.


Sel-sel vegetatif mikroorganisme akan terbunuh dalam 10 menit


dalam air mendidih. Namun, beberapa spora bakteri dapat bertahan dalam kondisi

seperti ini selama berjam-jam. Merebus peralatan di dalam air mendidih selama

waktu yang singkat lebih memungkinkan untuk disinfeksi daripada sterilisasi,

karena itu air mendidih tidak dapat diandalkan untuk sterilisasi.



b. Panas Kering



Sterilisasi dengan panas kering membutuhkan temperatur yang lebih tinggi

dan periode pemanasan yang lebih panjang daripada sterilisasi dengan uap.

Digunakan terutama untuk sterilisasi alat-alat gelas dan bahan-bahan seperti minyak,

jeli, dan serbuk yang tak-tahan terhadap uap. Peran mematikan dihasilkan dari panas

yang berada pada bahan-bahan tempat organisme menempel, jadi bukan dari udara

panas yang mengelilinginya; penting untuk ditegaskan pada pemanasan secara umum

terhadap benda yang disterilkan. Tipe panas kering yang sering digunakan secara

luas adalah oven udara-panas. Sterilisasi membutuhkan waktu 2 jam pada temperatur

180

oC, untuk membunuh semua organisme termasuk pembentuk spora. Tipe panas


kering lain yang sering digunakan adalah “insinerasi” (pembakaran) bahan sekali

pakai (“

disposable objects”) atau pembakaran bahan yang mengandung


mikroorganisme. Pembakaran digunakan untuk memusnahkan bangkai, hewanhewan

penelitian yang terinfeksi dan bahan terkontaminasi lain yang akan dibuang.

Pemusnahan mikroorganisme dengan pembakaran juga dilakukan secara rutin di

laboratorium terhadap jarum inokulasi bakteriologik, tutup tabung dari kain kasakapas,

dan alat-alat yang kecil dengan cara melalukan benda-benda tersebut melaui

lidah api suatu alat pembakar Bunsen



Tabel 4-5 Waktu pemusnahan spora bakteri dengan panas kering

(Sumber : Brock & Madigan,1991)

Lamanya pemusnahan pada temperatur

OC / menit

Mikroorganisme



120 130 140 150 160 170 180


B. anthracis



60-120


180

9-90 3



C. botulinum



120 60 15-60 20-25 10-15 5-10


C. perfringens



50 15-35 5


C. tetani



20-40 5-15 30 12 5 1


79



Spora tanah 180 30-90 15-60 15



2). Pembekuan



Meskipun beberapa bakteri dapat dibunuh dengan temperatur paparan dingin,

pembekuan merupakan metode yang tidak layak untuk sterilisasi. Penggunaannya

terutama untuk mengawetkan biakan bakteri. Pembekuan dan pencairan secara

berulang, lebih merusak bakteri daripada memperpanjang penyimpannya pada suhu

pembekuan. Pembekuan bakteri tersebut, akan membentuk kristal es di luar sel yang

menyebabkan arus balik air dari bagian dalam sel, mengakibatkan suatu peningkatan

elektrolit intraseluler dan denaturasi protein. Membran sel dirusak, dan terjadi suatu

kebocoran senyawa organik intraseluler. Kebocoran bahan-bahan yang mengandung

fosfor anorganik, ribosa, peptida, dan nukleotida yang meningkat sebagai akibat

aktivasi peptidase dan ribonuklease laten.

Ketika bakteri dibekukan secara cepat pada temperatur kurang dari –35

oC ,


bentuk kristal es di dalam sel, menghasilkan efek mematikan selama pencairan. Jika,

kultur dikeringkan dengan mengosongkan daerah pembekuan tersebut dengan cara

liofilisasi atau

freeze-drying, awal kematian secara besar-besaran dapat dikurangi.


Metode ini sering digunakan untuk pengawetan biakan bakteri.

Bakteri dan virus dapat dapat bertahan hidup pada temperatur –20

oC


(temperatur alat pembeku mekanis), -70

oC (temperatur es kering, yaitu CO2 beku),


dan bahkan pada temperatur –195

oC (temperatur nitrogen cair). Nitrogen cair sering


digunakan untuk mengawetkan biakan virus dan mikroorganisme lain, juga

persediaan sel-sel jaringan mammalia yang digunakan dalam virologi hewan serta

tujuan riset lainnya. Prosedur pendinginan mula-mula dapat mematikan sebagian sel

itu, namun jumlah yang dapat bertahan akan lebih besar dan tetap hidup untuk waktu

lama.



3). Pendinginan



Temperatur di bawah temperatur optimum pertumbuhan dapat menekan laju

metabolisme, dan bila temperatur terlalu rendah, maka metabolisme serta

pertumbuhan akan terhenti. Temperatur rendah sangat bermanfaat untuk

80

mengawetkan biakan karena mikroorganisme mempunyai kemampuan yang unik

untuk dapat bertahan hidup pada keadaan yang sangat dingin.

Biakan beberapa bakteri, khamir dan kapang yang ditumbuhkan pada media

agar dalam tabung reaksi, dapat tetap hidup selama berbulan-bulan pada temperatur

lemari es yaitu sekitar 4-7

oC. Metode ini baik untuk mengawetkan beberapa biakan


tetapi tidak untuk semua mikroorganisme, karena ada bakteri yang tumbuh optimum

pada temperatur tersebut, sehingga media pertumbuhan akan habis dan dapat

membunuh bakteri tersebut.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa temperatur rendah, betapapun

ekstrimnya, tidak dapat diandalkan untuk disinfeksi ataupun sterilisasi.

Mikroorganisme yang dipelihara pada temperatur beku atau di bawah temperatur

beku, dianggap dorman karena tidak memperlihatkan adanya aktivitas metabolik

yang dapat dideteksi. Hal ini merupakan dasar untuk keberhasilan pengawetan

pangan dengan menggunakan temperatur rendah.



4). Radiasi



Sinar matahari memiliki aktivitas bakterisida dan memaikan peranan penting

dalam sterilisasi yang bersifat spontan yang terjadi pada keadaan alami Peran

desinfektan tersebut terutama karena kandungan sinar ultravioletnya, yang sebagian

besar disaring oleh kaca dan adanya ozon pada atmosfer bumi dan polutan atmosfer

(asap).

Sinar elektromagnetik lain dengan panjang gelombang lebih pendek, seperti

sinar-x dan sinar-

g, juga sinar yang dihasilkan dari kerusakan radioaktif dan oleh


akselerator ion, juga dapat memperlihatkan efeknya jika diserap oleh bakteri.



Efek Radiasi.


Hanya cahaya yang diserap (diabsorbsi) yang membantu reaksi


fotokimia. Sebagai molekul pengabsorbsi cahaya, yang menerima energi dalam

bentuk unit dengan ciri tersendiri yang disebut “kuanta”. Energi suatu kuantum

berbanding terbalik dengan panjang gelombangnya. Pada reaksi primer, hanya 1

kuantum cahaya yang diserap oleh setiap molekul substansi pengabsorbsi. Jumlah

kuanta yang diabsorbsi oleh suatu sistem biologi sebanding dengan lamanya dan

intensitas produk radiasi, juga sebanding dengan koefisien absorbsi bahan

terirradiasi. Absorbsi kuantum oleh elektron dalam satu atom menyebabkan

81

inaktivasi molekul, yang selanjutnya menggunakan kelebihan energi untuk merubah

senyawa kimia, seperti dekomposisi dan penyusunan-kembali bagian dalam

(“

internal rearrangements”) , atau dapat hilang sama sekali sebagai panas atau


fluoresensi.

Radiasi memiliki energi yang cukup untuk memindahkan suatu elektron

secara sempurna dari suatu atom dan menghasilkan muatan listrik (ionisasi) , atau

energi hanya cukup untuk memindahkan elektron ke tempat energi yang lebih tinggi

(eksitasi). Energi sebanding dengan 10 elektron volt yang dibutuhkan untuk menarik

suatu elektron keluar dari suatu atom. Hal ini dilakukan oleh sinar-x dan sinar-

g yang


mengionisasi atom melalui pemasukan elektron dari beberapa atom melalui radiasi.

Meskipun energi kuantum diabsorbsi oleh molekul, dalam rentang sinar ultra

violet dan sinar yang dapat dilihat, tidak dapat memindahkan suatu elektron secara

sempurna, eksitasi yang dihasilkan sering mengarah pada perubahan fotokimia. Pada

rentang spektrum inframerah, energi tidak cukup untuk memulai perubahan senyawa

kimia dalam bahan biologi, dan energi yang diserap akan dihamburkan sebagai

panas.



a. Radiasi Ultraviolet

Mekanisme Kerusakan Oleh Radiasi Ultraviolet.


.Cahaya ultraviolet meliputi


spektrum radiasi dari 15 – 390 nm. Efektivitas cahaya ultraviolet sebagai suatu bahan

mutagenik dan mematikan berhubungan erat dengan panjang gelombangnya. Panjang

gelombang bersifat bakterisida yang paling efektif ialah pada rentang 240 – 280 nm,

dengan panjang optimum sekitar 260 nm, yang dilaporkan mengalami absorbsi

maksimum oleh DNA. Mekanisme efek mematikan sinar UV yang terbanyak pada

bakteri, karena absorbsi menyebabkan kerusakan DNA. Radiasi UV mengarah pada

pembentukan ikatan kovalen antara residu pirimidin yang berdekatan satu sama lain

pada rantai yang sama, menghasilkan formasi dimer pirimidin tipe-siklobutan. Dimer

ini merupakan bentuk penyimpangan DNA dan bergabung dengan pasangan basa

normal. Hal tersebut mengakibatkan suatu hambatan sintesis DNA dan efek

sekundernya menghambat pertumbuhan dan respirasi. Cahaya UV juga bersifat

mutagenik. Efek mutagenik bergantung pada induksi oleh dimer siklobutan dari

respon SOS, yang secara serasi mengatur grup operon terrepresi secara negatif.

82

Efek lain dari radiasi UV, misalnya fotohidrasi sitosin dan pautan-silang rantai DNA

komplemen, tetapi UV dalam dosis yang sangat tinggi perlu diatur sebagai

mekanisme terbesar untuk merusak sel.



Penggunaan Cahaya UV.


Radiasi UV dapat dihasilkan secara buatan dengan lampu


asap merkuri. Unit energi radiasi diukur dalam mikrowatt per unit area per unit

waktu. Cahaya UV 15 watt menghantarkan radiasi 38

mW/cm2/s pada jarak 1 m.


Radiasi UV sama efektifnya untuk bakteri gram-positif maupun gram-negatif. Untuk

sebagian besar bakteri yang tidak membentuk spora, dosis yang mematikan

bervariasi mulai dari 1800

mW/cm2/s sampai 6500 mW/cm2/s. Spora bakteri


membutuhkan 10 kali dosis tersebut.

Saat ini sudah ada lampu yang disebut lampu germisidal, yang memancarkan

sinar ultraviolet dengan konsentrasi tinggi dengan daya germisidal paling efektif,

yaitu terletak pada daerah 260 – 270 nm. Lampu germisidal banyak digunakan untuk

mengurangi populasi mikroba di kamar-kamar bedah rumah sakit, di ruang aseptik

untuk pengisian obat-obatan industri farmasi, pada tempat pengisian produk steril ke

dalam tabung kecil atau ampul dengan pipet dan di industri-industri pangan serta

persusuan untuk membersihkan permukaan yang terkontaminasi.

Meskipun komponen radiasi UV secara tidak diragukan bersifat bakterisida,

tetapi radiasi UV tidak layak digolongkan sebagai bahan pensterilisasi karena

ketidakjelasan dalam penggunaannya. Tidak seperti radiasi ionisasi, energi radiasi

UV adalah rendah, dan daya tembusnya kecil. Radiasi UV tidak menembus benda

padat, dan hanya sedikit menembus benda cair. . Bahkan selapis kaca yang tipis

dapat menahan sebagian besar sinar tersebut. Oleh karena itu, sinar UV tidak

berpengaruh terhadap mikroorganisme yang terlindung dari pancaran langsung sinar

tersebut (“

incident beams”). Jadi hanya mikroorganisme yang ada di permukaan


suatu benda yang secara langsung terkenai sinar ultraviolet, yang rentan terhadap

pembasmian.



b. Radiasi Pengionisasi

Komponen Radiasi Pengionisasi.


Radiasi pengionisasi dikelompokkan menjadi dua


golongan sesuai dengan komponen fisiknya : (1) yang memiliki masa dan bermuatan

83

atau tidak bermuatan, dan (2) hanya energi saja. Beberapa radiasi pengionisasi

merupakan produk dari kerusakan radioaktif (sinar-

a, -b, -g ), dan yang lainnya


dihasilkan pada suatu mesin sinar-x, melalui pengeboman partikel, atau reaktor

nuklir. Radiasi pengionisasi yang memiliki nilai terbesar untuk keperluan sterilisasi

ialah sinar-x , sinar-

g elektromagnetik, dan partikel sinar katoda (elektron


terakselerasi buatan). Radiasi tersebut memiliki sejumlah energi yang lebih besar

daripada yang dikandung dalam radiasi UV, sehingga kemampuan untuk

menghasilkan efek mematikan juga lebih besar. Daya tembus radiasi pengionisasi

mendukung efektivitasnya sebagai bahan sterilisasi. Sinar katoda, karena sifat

partikelnya, memiliki energi dari dalam , dan akibatnya memiliki daya tembus

terbesar, meskipun sinar-

a dan sinar-g memiliki daya tembus yang lebih besar.


Karena sifat mekanisme dilibatkan, maka aktivitas optimum tidak pernah terjadi pada

permukaan bahan yang disinari. Dengan sinar-

g, aktivitas optimum terjadi hanya


bagian dalam atau di bawah permukaan, dengan sinar katoda hal itu terjadi lebih

dalam beberapa sentimeter



Efek Mematikan.


Sebagian besar bakteri yang tidak membentuk spora, relatif


sensitif terhadap radiasi pengionisasi. Diantara bakteri tersebut, bajteri gram-positif

umumnya lebih resisten daripada bakteri Gram-negatif, spora sebagian besar

mikroorganisme bersifat resisten-radiasi.

Kematian mikroorganisme karena paparan radiasi pengionisasi biasanya

bersifat eksponensial melalui periode sterilisasi, meskipun dalam beberapa kasus hal

tersebut cenderung sigmoidal. Kemiringan kurva waktu-survivor ditentukan oleh

intensitas penyinaran, tetapi hubungan dosis dengan persentase organisme yang

dibunuh, selalu eksponensial. Menuju akhir proses, suatu efek bagian akhir menjadi

mencolok, perlu ditegaskan bahwa dosis penuh secara yakin sudah diberikan.



Penggunaan Praktis.


Meskipun dosis sterilisasi bergantung pada tingkat


kontaminasi awal, suatu dosis 2,5 Mrad radiasi pengionisasi (1 Mrad = 10

6 rad, 1 rad


= absorbsi energi 100 ergs/gram udara) sudah diterima sebagai dosis sterilisasi.

Dosis tersebut, cukup untuk membunuh sebagian besar mikroorganisme dan juga

tersedia sebagai dosis yang aman untuk digunakan dalam praktek.

84



Tabel 4-6 Sensitivitas mikroorganisme dan fungsi biologi

Fungsi Spesies Tipe mikroorganisme D10
a(Gy).



Clostridium botulinum



Bakteri berspora anaerobik Grampositif


3,300



Clostridium tetani



Bakteri berspora anaerobik Grampositif


2,400



Bacillus subtilis



Bakteri berspora anaerobik Grampositif


600



S. typhimurium



Bakteri Gram-negatif 200


Lactobacillus brevis



Bakteri Gram-positif 1,200


Deinococcus radiodurans



Bakteri Gram-negatif resisten-radiasi 2,200


Aspergillus niger



Fungi 500


Saccaromyces cerviceae



Ragi 500


Mulut dan kaki Virus 13,000

Coxsackie Virus 4,500

Inaktivasi enzim - 20,000-50,000

Deinfestasi Serangga - 1,000-5,000.



Keterangan : D10

a Gy adalah jumlah radiasi yang penting untuk mengurangi


populasi awal atau 10 kali tingkat aktivitas (1 logaritma). (1Gy = 100 rad).

Bidang Farmasi dan kedokteran, merupakan bidang utama yang

menggunakan radiasi pengionisasi untuk sterilisasi. Khususnya untuk sterilisasi

benda atau bahan seperti alat bedah sekali-pakai, benang jahit terbuat dari usus

hewan (“

cat gut”), benang jahit nilon, dan alat-alat yang berhubungan dengan


kedokteran.



5). Vibrasi Sonik Dan Ultrasonik



Vibrasi suara pada frekuensi tinggi, dalam rentang ultrasonik dan dapat

didengar (20-1000 kc), merupakan teknik yang sering digunakan untuk merusak sel

mikroba. Generator gelombang suara yang secara luas digunakan untuk keperluan

85

operasi, dalam rentang frekuensi 9-100 kc/s. Tidak ditemukan frekuensi khusus,

tetapi secara umum dengan meningkatkan frekuensi gelombang ultrasonik.

Vibrasi ultrasonik juga dapat menyebabkan depolimerisasi makromolekul

dan pengelompokan-kembali intramolekuler. Pelepasan rantai-ganda oleh vibrasi

sonik dihasilkan untuk pemindahan DNA, dan integrasi kedalam genom inang dapat

dihambat.

Mikroorganisme memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap vibrasi sonik

dan ultrasonik. Sebagian besar batang Gram-negatif bersifat rentan, dan diantara

sebagian besar yang resisten adalah

Staphylococcus, membutuhkan waktu paparan


yang lama. Meskipun vibrasi sonik dapat mematikan populasi bakteri, tetapi ada juga

yang bertahan hidup. Akibatnya, perlakuan dengan vibrasi sonik tidak memiliki nilai

praktis untuk sterilisasi dan disinfeksi.

Sehubungan dengan pengendalian mikroorganisme, yang terpenting ialah

mekanisme kerja gelombang suara berfrekuensi tinggi pada pembersih ultrasonik,

yaitu unit-unit berisi cairan yang dilalui oleh gelombang suara tersebut. Gelombang

suara berfrekuensi tinggi menempuh perjalanannya melalui cairan tadi, maka

terbentuklah sejumlah besar gelombang kecil yang setelah mencapai ukuran tertentu

menghilang dengan sangat cepat. Fenomena ini dinamakan kavitasi (“

cavitation”),


yaitu tenaga yang ditimbulkan akan menghilangkan debu atau partikel-partikel

(termasuk mikroorganisme) dari permukaan benda yang ada dalam cairan tersebut.

Pembersih ultrasonik lebih efisien untuk membersihkan bahan organik dari

peralatan dibandingkan dengan penyikatan secara mekanis.



6). Penyaringan



Penyaringan atau filtrasi merupakan metode yang digunakan dalam

laboratorium untuk sterilisasi bahan-bahan yang tidak-tahan panas. Meskipun

saringan mekanik memainkan peranan dalam semua proses penyaringan, fenomena

absorpsi dan elektrostatik dan konstruksi fisik filter juga secara nyata memiliki

pengaruh. Sejumlah tipe filter sudah digunakan untuk keperluan sterilisasi. Bahan

filter tersebut merupakan suatu lapisan yang relatif tebal terbuat dari asbes, tanah

diatom, porselen atau kaca berpori (“

sintered glass”). Sebagian besar tipe lama


(Berkefeld, Chamberland, Seitz) sudah diganti dengan filter membran yang terdiri

86

dari cakram berpori dari ester selulosa lembam (lamban) atau bahan polimerik lain

dengan pori-pori berukuran tepat serta seragam. Cakram tersebut sedikit meyerap

cairan yang tersaring , maka selanjutnya sering digunakan untuk sterilisasi bahanbahan

tertentu yang tidak tahan, tanpa kelemahan, digunakan suhu tinggi dalam

sterilisasi panas.



Filter Membran.


Filter membran yang layak memiliki ukuran pori 14-0,023 mm.


Filter berukuran 0,22

mm, secara luas digunakan untuk sterilisasi karena ukuran pori


tersebut lebih kecil daripada bakteri. Filter tersebut harus selalu digunakan untuk

sterilisasi larutan yang mengandung serum, plasma, atau tripsin dimana sering

terdapat spesies

Pseudomonas atau bakteri kecil lain.


Filter membran berperan penting sebagai penyaring bersifat dua-dimensi,

menahan semua partikel yang ukuran pori. Pada penyaringan cairan, sejumlah besar

partikel apapun yang lebih kecil dari ukuran pori, ditahan oleh tekanan van der

Waals, dengan terperangkap secara acak pada pori, dan dengan menambah partikel

yang tertahan sebelumnya. Sifat penting filter membran adalah semua partikel yang

lebih besar dari ukuran pori secara positif ditahan pada permukaan filter.

Mikroorganisme ditahan pada lapisan filter bukan hanya disebabkan ukuran pori

filter, tetapi juga disebabkan oleh kombinasi ukuran pori, sifat jaringan bahan

berserat atau partikel penyusun lapisan saringan, dan muatan listrik bahan-bahan

tersebut.



Filter udara.


Sudah dikembangkan filter yang memiliki efisiensi tinggi untuk


menyaring udara yang berisik partikel (“

high efficiency particulate air filter” atau


HEPA


) ,memungkinkan dialirkannya udara bersih ke dalam ruang tertutup. Tipe


filtrasi udara semacam ini bersama dengan sistem aliran udara laminar (

laminar air


flow


), sekarang banyak digunakan untuk menyediakan udara yang bebas dari debu


dan bakteri.

Filter udara digunakan di dalam ruang transfer mikrobiologi untuk mencegah

timbulnya kontaminasi pada tempat pengisolasian bakteri khususnya patogen untuk

mencegah penyebaran infeksi dan di dalam ruang-ruang yang digunakan untuk

87

merakit peralatan elektronik miniatur karena kontaminasi oleh partikel-partikel

bahkan sekecil bakteri dapat merusak daya guna komponen peralatan tersebut.



Pelindung muka.


Pelindung terbuat dari kain kasa yang dilengkapi dengan pita


perekat atau tali pengikat, karena digunakan untuk menutup mulut dan hidung maka

disebut pelindung muka; alat ini biasa digunakan oleh tim ahli bedah selama

berlangsungnya operasi, sebagai filter untuk menyaring mikroorganisme pada waktu

bernafas sehingga tidak mencemari ruang bedah.

Pelindung muka juga digunakan petugas rumah sakit untuk melindungi diri

dari pasien-pasien yang menderita penyakit menular, dengan cara menyaring

mikroorganisme asal-udara yang masuk melalui pernafasan.



7). Pengeringan



Pengeringan sel mikroorganisme dan lingkungannya sangat mengurangi, atau

menghentikan aktivitas metabolik, yang diikuti dengan kematian sejumlah sel.

Secara umum, jangka waktu hidup mikroorganisme setelah pengeringan bervariasi

tergantung pada faktor-faktor berikut:

a. Macam mikroorganisme

b. Bahan yang dipakai untuk mengeringkan mikroorganisme

c. Kesempurnaan proses pengeringan

d. Kondisi fisik (cahaya, temperatur, kelembaban) yang dikenakan pada

mikroorganisme yang dikeringkan

Bakteri kokus gram negatif seperti

Neisseria gonorrhoeae dan Neisseria


meningitidis


sangat peka terhadap kekeringan, sehingga akan mati dalam waktu


beberapa jam.

Streptococcus jauh lebih resisten dan ada yang dapat bertahan


berminggu-minggu setelah dikeringkan.

Basillus tuberkulosis yang dikeringkan


bersama dahak dapat tetap hidup selama jangka waktu lebih lama lagi. Spora kering

mikroorganisme telah diketahui dapat tetap hidup sampai waktu tak terbatas.



8). Tekanan osmotik



Tekanan osmosis ialah tekanan difusi melintasi membran semipermiabel

(yang memisahkan) dua macam larutan dengan konsentrasi zat terlarut yang berbeda.

Proses ini cenderung untuk menyamakan konsentrasi zat terlarut pada kedua sisi

88

membran tersebut. Jadi sel itu akan terhidrasi, efeknya serupa seperti mengeringkan

sel, proses ini dikenal dengan nama plasmolisis. Pada sel hewan yang tidak

mempunyai dinding yang kaku, dapat teramati penyusutan sel yang sesungguhnya

sebagai akibat plasmolisis. Bila bakteri ditempatkan di dalam larutan yang

mengandung natrium klorida jauh di bawah 1%, atau sekitar 0,01% maka arah aliran

air akan terbalik, yaitu air dari larutan akan mengalir menuju ke dalam sel. Proses

demikian dinamakan plasmoptisis

. Terbentuknya tekanan osmotik di dalam sel


akibat akumulasi air dalam jumlah yang besar. Apabila membran sel itu elastik,

seperti misalnya pada sel darah merah, maka tekanan ini akan mengakibatkan

pembengkakan dan bahkan dapat menyebabkan pecahnya sel. Bakteri memiliki

dinding sel yang kaku yang dapat menahan perubahan tekanan osmotik, sehingga

biasanya tidak menunjukkan perubahan bentuk ataupun ukuran yang menyolok bila

terjadi plasmolisis atau plasmoptisis

.


RANGKUMAN



Untuk dapat mempelajari karakteristik bakteri, maka kita harus dapat

menumbuhkannya dalam bentuk biakan murni. Untuk menumbuhkan bakteri tersebut

diperlukan pemilihan medium yang sesuai serta kondisi lingkungan yang optimum

bagi pertumbuhannya.

Bakteri dapat tumbuh pada medium yang sesuai dengan pertumbuhan yang

mengikuti suatu kurva pertumbuhan (kurva sigmoid) sampai ketersediaan nutrien

dalam medium habis terpakai. Kurva pertumbuhan bakteri menggambarkan siklus

pertambahan jumlah sel bakteri dimulai dengan fase adaptasi, diikuti perutumbuhan

yang cepat sebagai fase logaritmik (eksponensial) sehingga jumlahnya dua kali lipat,

kemudian fase stasioner dan fase kematian sel.

Siklus bakteri menggambarkan perubahan bentuk sel bakteri dalam kondisi

yang tidak cocok dengan membentuk endospora (sporulasi). Beberapa tipe bakteri

dapat membentuk endospora untuk waktu yang lama dan tahan terhadap gangguan

fisik lingkungan dan akan tumbuh kembali jika berada dalam medium dan

lingkungan yang sesuai.

89



PERTANYAAN DAN TUGAS



1.


Bagaimanakah persyaratan nutrisi bagi pertumbuhan bakteri ? Unsur-unsur


apakah yang dibutuhkannya ? Apa fungsi setiap unsur tersebut ?



2.


Bagaimanakah klasifikasi medium pertumbuhan bakteri ? Berikan beberapa


contoh medium pertumbuhan bakteri ?

3. Jelaskan istilah berikut::

a. litotrof (kemoautotrof)

b. heterotrof (kemoheterotrof)

c. aerob obligat

d. anaerob obligat

e. anaerob fakultatif

4. Bagaimanakah pengaruh temperatur dan pH terhadap pertumbuhan bakteri ?

5. Apa yang dimaksud dengan pertumbuhan sel bakteri dan pertumbuhan populasi

bakteri ? Bagaimanakah kita mengukur pertumbuhan bakteri tersebut?

6. Suatu bakteri memiliki waktu generasi selama 30 menit. Jika terdapat 20 sel pada

awal pertumbuhan, berapakah jumlah sel setelah diinkubasi selama 5 jam ?

7. Jelaskan pengendalian pertumbuhan bakteri:

a. secara kimia

b. secara fisik



ISTILAH PENTING



- litotrof (kemoautotrof)

- heterotrof (kemoheterotrof)

- fotoautotrof

- aerob obligat

- anaerob obligat

- anaerob fakultatif

- sterilisasi

- disinfeksi

- Pasteurisasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar