Senin, 10 Januari 2011

Tumbuhan lahan basah sebagai pembersih

TUMBUHAN BASAH SEBAGAI PEMBERSIH
1. Tumbuhan lahan basah
Menurut Hammer dan Bastian (1989), lahan basah (Wetland)adalah habitat peralihan antara lahan darat dan air, jadi bukan merupakan habitat darat ataupun habitat air. Ekosistem lahan basah memiliki kemampuan alamiah untuk menghilangkan berbagai jenis limbah pada beberapa tingkat efisiensi (Nichols, 1983). Kemampuan ini terutama disebabkan karena adanya vegetasi yang berperan sebagai pengolah limbah. Karena sistem ini belum tentu dapat mengolah seluruh jenis kontaminan, maka perlu dirancang sistem lahan basah buatan untuk mengolah limbah tertentu. Jika sistem ini dapat dibuat sedemikian rupa sebagai pengolah limbah sekunder atau pengolah akhir, maka dengan menggunakan biaya konstruksi, operasi dan pemeliharaan yang lebih rendah kualitas air dapat ditingkatkan.
Berbagai jenis tumbuhan lahan basah alami telah beradaptasi dan tumbuh baik di dalam air atau tanah yang jenuh air. Hingga kini, data mengenai tanaman apa saja yang dapat digunakan, sifat tanaman lahan basah, adaptasinya pada lingkungan dan efeknya pada lingkungan terutama untuk peningkatan kualitas air masih sedikit. Dari 1000 spesies tumbuhan air yang berhasil didata (Sculthorpe, 1969).
Tumbuhan lahan basah telah berevolusi agar hidup di lingkungan yang didominasi oleh air melalui adaptasi struktur dan fisiologinya, yaitu dengan membentuk jaringan lakuna atau aerenkhima di dalam akar dan batangnya untuk pertukaran gas oksigen dari bagian batang ke akar. Perubahan lain terlihat pada tumbuhan mengapung, yaitu dengan membentuk daun yang bulat penuh untuk menjaga agar tidak sobek, tekstur seperti kulit yang kuat, dan permukaan atas yang hidrofobik untuk menjaga agar tidak basah. Tidak seperti pada tanaman darat pada umumnya, stomata tumbuhan mengapung ditemukan di bagian sisi sebelah atas daun (Guntenspergen et al., 1989).
1. Azolla (Azolla sp)
Azolla dikenal mampu bersimbiosis dengan bakteri biru-hijau Anabaena azollae dan mengikat nitrogen langsung dari udara. Potensi ini membuat Azolla digunakan sebagai pupuk hijau baik di lahan sawah maupun lahan kering. Pada kondisi optimal Azolla akan tumbuh baik dengan laju pertumbuhan 35% tiap hari Nilai nutrisi Azolla mengandung kadar protein tinggi antara 24-30%. Kandungan asam amino essensialnya, terutama lisin 0,42% lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat jagung, dedak, dan beras pecah (Arifin, 1996) dalam Akrimin 2002.


Penelitian tentang potensi tumbuhan perairan untuk fitoremediasi, ternyata azolla juga mampu menyerap sianaida 4.62 ppm dan Pb dalam jumlah yang cukup tinggi. (Juhaeti,dkk.,2004). Pertumbuhan azolla pada kosentrasi Pb 50 ppm lebih baik dibandingkan pada Pb 0 ppm (Juhaeti dan Syarif, 2003) hal ni menunjukan bahwa azolla mempunyai adaptasi yang tinggi.Azola juga memiliki kemampuan menyerap Cromium (Cr(IV) maksimum Cr (VI) adalah sekitar 14,7 × 103 logam mg / kg berat kering biomassa (V.K.Gupta,et.all,2001)
2.Enceng gondok (Eichhornia crassipes).
Eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms) yang sering menjadi permasalahan di lingkungan perairan karena dianggap sebagai tumbuhan pengganggu (gulma) ternyata memiliki sifat hiperakumulator terhadap beberapa bahan pencemar seperti logam berat (Eddy,2008)
Eceng gondok memiliki akar yang bercabang-cabang halus, permukaan akarnya digunakan oleh mikroorganisme sebagai tempat pertumbuhan (Neis, 1993). Muramoto dan Oki dalam Sudibyo (1989) menjelaskan, bahwa Eceng gondok dapat digunakan untuk menghilangkan polutan, karena fungsinya sebagai sistem filtrasi biologis, menghilangkan nutrien mineral, untuk menghilangkan logam berat seperti cuprum, aurum, cobalt, strontium, merkuri, timah, kadmium dan nikel.

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Liao dan Chang (2004) dimana eceng gondok mampu menyerap Cd, Pb, Cu, Zn dan Ni masing-masing adalah 24, 542, 2162, 2617, dan 1346 mg/m2 untuk kondisi perairan Erh-Chung wetland yang tercemar logam berat.
Mekanisme yang mungkin terjadi ketika tanaman eceng gondok mengakumulasikan Pb ke dalam jaringannya adalah mekanisme rizofiltrasi dan fitoekstraksi. Mekanisme ini terjadi ketika akar tumbuhan mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar ke dalam akar, yang selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ tumbuhan melalui pembuluh xylem. Proses ini cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik seperti logam-logam berat (Erakhrumen & Agbontalor, 2007). Hasil Penelitian yang dilaporkan oleh Hasyim bahwa kadar logam Fe menurun 3,177 ppm (65,45 persen) untuk 1 rumpun eceng gondok, 3,511 ppm (71,93 persen) untuk dua rumpun eceng gondok dan 3,686 ppm (74,47 persen) untuk tiga rumpun eceng gondok pada wadah yang diberi 5ppm Fe. Begitu juga wadah yang diberi dengan Timbal (Pb) 5ppm Kadar logam Pb menurun 5,167 ppm (96,4 persen) pada perlakuan satu rumpun eceng gondok, menurun 5,204 ppm (98,7 persen) pada perlakuan tiga rumpun, dan menurun 6,019 ppm (99,7 persen).
Serangkaian penelitian seputar kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat juga telah dilakukan oleh para pakar. Widyanto dan Susilo (1977) melaporkan, dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain.Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen.
Selain dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida, contohnya residu 2.4-D dan paraquat. Pada percobaan Chossi dan Husin (1977) diketahui eceng gondok mampu menyerap residu dari larutan yang mengandung 0,50 ppm 2.4-D sebanyak 0,296 ppm dan 2,00 ppm 2.4-D sebanyak 0,830 ppm dalam waktu 96 jam.Adapun paraquat yang diserap oleh eceng gondok dari dua kadar, yaitu 0,05 ppm dan 0,10 ppm masing-masing adalah 0,02 ppm dan 0,024 ppm.
3. Kiambang (Salvinia natans)
Kiambang memiliki struktur tumbuh yang unik, beradaptasi dengan keadaan basah. Hidup pada daerah yang selalu tergenang seperti sungai, selokan, waduk dan lain sebagainya. Tumbuhan air ini memiliki keunikan dalam mengolah limbah organik. Kemampuannya dalam mengolah limbah organik tidak diragukan lagi. Tumbuhan berstolon ini menyerap makanan organiknya dengan cara penyerapan melalui akar yang mirip rambut (Edi, 2008)

Kiambang biasanya mengapung di permukaan air dan selalu mengikut arah arus air. Oleh karena itu, jika berada di daerah yang kadar airnya dapat turun hingga kering tumbuhan ini akan mati. Sedangkan pada tumbuhan air yang lain seperti Eceng Gondok, apabila daerah yang ditempati menjadi kering maka akar yang biasa mengapung akan menembus tanah dan mencari cadangan air. Kiambang memiliki struktur yang berbeda dengan Eceng Gondok. Tetapi memiliki perilaku perkembangbiakan yang sama yaitu menggunakan stolon (tumbuh pada setiap sisi daun). Kiambang mempunyai potensi sebagai hiperakumulator yang sama dengan enceng gondok, berdasarkan penelitian Dwi Hidayat, dkk,2008 dari Institut Teknologi Sepuluh November, kiambang diaplikasikan pada lumpur Lapindo Brantas yang mengandung Methan yang tinggi serta logam berat Misalnya Cd 10,45 ppm, Cr 105,44 ppm, As 0,99 ppm, dan Hg 1,96 ppm mampu beradaptasi dan menyerap hampir 0.001% pada jaringan tanaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar